Dinas Tata Kota Bantah Keluarkan IMB Stasiun LPJ

Kendari Ekspres 2009-08-31/Halaman Kota Ekspres

KENDARI– Kepala Dinas Tata Kota dan Perumahan Kota Kendari Ir Andi Adam Patawari Msi, saat ditemui diruang kerjanya, Kamis (30/7) kemarin menyatakan Dinas Tata Kota belum mengeluarkan IMB untuk stasiun Pengangkutan Pengisian LPJ Khusus (SPPK).

Izin yang ada baru Izin Prinsip (IP). Statiun tersebut berdasarkan IPnya digabung diatas luas lahan hampir 2 hektar, bertempat di jaaln poros Moramo, kelurahan Sambuli Kecaamtan Abeli.

Dia pun menegaskan IP peneggunaaan kawasan oleh SPPK, dikeluarkan oleh Walikota dan pengurusan izin membangun dan pembuatan amdal. IMB tetapi hanya untuk per siapa lahan.

“Pembangunan ini sifatnya di kawasan, jadi harus daapt respon amdal kelayakannya. Dan tata kota hanya melakuakn peruntukkan kawasan”, paparnya.

Kepala Dinas ini berkata, stasiun tersebut tidak dapat direspon dari Pemkot sebelum ada IP SPPK atau rekomendasi dari pertamina.

“Karena stasiun ini mendapatkan kelayakan dari pertamina, untuk melayani masyaraakat pengguna gas LPJ mulai dari masyarakat kecil pengguna 3 hingga masyarakat mampu pengguna 13 kg, sehingga pemkot dalam hal ini Tata Kota menyiapkan lokasi, yang masuk dalam kawasan pengembangan pelabuhan, berupa dermaga”, ungkap Andi Adam.

Berdasarkan analisa Tata Ruang Kota, tempat tersebut layak ditempati SPPK sebagai tempat pengangkutan dari laut, penampungan dan penyaluran gas LPJ.

“Kawasan pembangunannya dekat dengan laut, untuk menyediakan tempat peruntukan dermaga, sehingga memudahkan pengangkutan gas-gas dari daerah lain di dermaga tersebut, hingga saatnya gas-gas distribusi dari tempat penampungan”, jelasnya.

Pantai Utara Jakarta Kritis

Kompas 2009-07-31/E-Paper Halaman 27  Metropolitan

Jakarta – Kondisi lingkungan di pantai utara Jakarta dalam kondisi kritis. Dari 32 kilometer garis pantai Jakarta, hanya tiga kilometer pantai atau 10 persen yang masih ditumbuhi mangrove.

Kepala Kantor Pengelola Lingkungan Hidup (KPLH) Jakarta Utara Hotman Silaen, Jumat (30/7) di Jakarta Selatan, mengatakan, ketiadaan penahan gelombang itu menyebabkan pantai utara Jakarta rawan terhadap pengikisan atau abrasi.

Idealnya, hutan mangrove seharusnya terdapat di sepanjang pantai. Namun, saat ini tidak mungkin menumbuhkan mangrove di sepanjang pantai karena banyak yang sudah digunakan sebagai pelabuhan, hotel, dan taman hiburan.

”Jakarta seharusnya memiliki hutan mangrove minimal sepanjang 15 kilometer. Tanpa mangrove, gelombang laut akan menggerus pantai,” kata Hotman.

Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta Peni Susanti mengatakan, Pemprov DKI akan menanami lahan seluas 40 hektar di kawasan Angke-Kapuk dengan tanaman bakau.

Saat ini sudah ada sekitar 296,7 hektar hutan mangrove yang menjadi sabuk hijau di pantai utara, di kawasan Angke-Kapuk.

Kawasan yang menjadi bagian sabuk hijau adalah Hutan Lindung Angke Kapuk seluas 44,76 hektar dan Taman Wisata Alam Angke Kapuk 99,82 hektar, Kebun Bibit Angke Kapuk 10,51 hektar, Suaka Marga Satwa Muara Angke 25,02 hektar, dan Transmisi PLN 23,7 hektar.

Selain itu terdapat juga di Cengkareng Drain 28,39 hektar, Jalan Tol Sedyatmo dan Jalur Hijau seluas 95,50 hektar, serta Ecomarine Tourism Muara Angke 7 hektar.

Salah satu perusahaan yang akan menghijaukan kawasan sabuk hijau itu adalah PT Kapuk Naga Indah (KNI).

Manajer Komunikasi dan Hubungan Media PT KNI Kosasih Wirahadikusumah mengatakan, pihaknya bertanggung jawab atas kawasan sabuk hijau seluas 17,8 hektar.

PT KNI akan membangun tanggul sebelum menghijaukan kawasan sabuk hijau. Tanggul tersebut diperlukan agar bibit bakau tidak mati dilanda gelombang laut.

Petani Rorotan Tunggu BKT Selesai

Kompas 2009-07-31/E-Paper Halaman 26 Metropolitan

Jakarta,  – Ratusan petani di kawasan Rorotan, Cilincing, Jakarta Timur, menunggu pembangunan Banjir Kanal Timur selesai tahun ini. Jika BKT selesai, fenomena cuaca, seperti badai El Nino, tidak akan mengancam lahan pertanian mereka.

Abdul Kadir, Ketua Kelompok Tani Makmur Jaya, Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, mengakui, pada bulan Agustus ini mereka akan memasuki masa panen. Namun, setelah itu mereka akan menghadapi musim tanam yang membutuhkan banyak air.

”Jika El Nino tidak segera berlalu, kami akan menghadapi musim kemarau panjang,” tutur Abdul Kadir.

Petani Rorotan mengandalkan pasokan air dengan tadah hujan dan Kali Malang dari Ujung Menteng, Cakung. ”Mudah-mudahan proyek BKT segera selesai agar pasokan air tetap ada sepanjang tahun,” kata Abdul Kadir.

Selama ini, petani di Rorotan hanya bisa panen dua kali setahun karena, jika musim kemarau, mereka tidak bisa berproduksi. Apabila musim kemarau, air yang mengalir berwarna hitam keruh.

”Di sini, kalau musim hujan, kebanjiran air. Akan tetapi, kalau musim kemarau, benar-benar kekurangan air.”

Menurut Abdul Kadir, kualitas air yang buruk ini tidak memengaruhi kualitas tanaman. Namun, beras hasil panen jika dimasak hanya tahan satu hari. Sementara kalau memakai air yang bening bersih bisa tahan dua hari.

Para petani juga berharap rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun waduk di kawasan Rorotan segera diwujudkan. Keberadaan waduk ini sangat membantu untuk menyalurkan air ke kawasan itu.

Kawasan Rorotan memiliki sekitar 300 hektar lahan persawahan. Produksi gabah di pertanian ini tidak kalah dengan petani-petani di lahan subur di daerah lain. Produksi gabah kering panen yang berhasil mereka capai adalah sembilan ton per satu hektar. Bahkan, pada tahun 2007 pernah mencapai 9,8 ton per satu hektar.

Ardi, Lurah Rorotan, menjelaskan, ia berjanji akan menyampaikan keinginan warganya kepada instansi terkait menyangkut masalah penyediaan air ke saluran irigasi tanah persawahan petani.

BKT dijadwalkan akan selesai dibangun dan diresmikan pada akhir tahun 2009. Namun, hingga kini, masalah pembebasan tanah baik di Jakarta Timur maupun di Jakarta Utara belum juga selesai. Di Jakarta Utara, ada 22 persil tanah yang pembayarannya diserahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Akan tetapi, pembayaran ini tidak bisa dilaksanakan karena Pengadilan Negeri Jakarta Utara sedang diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. (

Sampah Elektronik Bisa Didaur Ulang

Kompas 2009-07-31/E-Paper Halaman 12 Pendidikan & Kebudayaan

Jakarta – Perkembangan teknologi elektronik di dunia saat ini telah jadi bagian dari keseharian kita. Hampir semua aktivitas masyarakat butuh perangkat ini. Hal ini memicu peningkatan volume sampah elektronik yang berdampak buruk terhadap lingkungan hidup.

”Salah satu cara mengurangi dampak sampah elektronik adalah lewat proses daur ulang,” kata Chandra P Mahjoeddin, ahli lingkungan dari TES-AMM Indonesia, perusahaan daur ulang sampah elektronik, Kamis (30/7) di Jakarta. Karena itu, masyarakat diminta memberi sampah elektronik, seperti ponsel yang tak terpakai untuk didaur ulang.

”Sebuah ponsel dibuat dari berbagai bahan, seperti plastik di penutup dan berbagai elemen logam di peralatan elektronik, seperti charger dan aksesori, yang bisa didaur ulang,” kata Bambang N Gyat, Representatif TES-AMM Indonesia. Setiap bagian dari ponsel dapat didaur ulang.

Sejauh ini ada beberapa sumber sampah elektronik atau peralatan elektronik bekas yang tak terpakai, yaitu daerah komersial, area industri, rumah tangga, dan fasilitas publik.

Beberapa jenis sampah elektronik adalah alat rumah tangga, seperti lemari es, mesin cuci, blender, dan alat komunikasi, seperti telepon seluler.

Beberapa sampah elektronik lain adalah mainan anak-anak, kamera digital, komputer jinjing, dan alat-alat olahraga. ”Sampah elektronik menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan.

Salah satunya, keterbatasan bumi dalam mendaur ulang plastik yang banyak dipakai sebagai bahan baku alat elektronik,” ujarnya.

Masalah lain adalah eksploitasi sumber daya alam yang ketersediaannya terbatas, seperti emas, perak, litium, besi, dan tembaga.

Peran produsen

Atas dasar itu, produsen alat elektronik perlu berperan serta dengan memproduksi produk ramah lingkungan dan menjalankan program daur ulang produk yang mereka hasilkan.

Nokia, produsen telepon seluler, misalnya, punya program ponsel daur ulang secara sukarela yang dimulai tahun 1997 di Swedia dan Inggris. Kini produsen itu memiliki lebih dari 5.000 titik penempatan boks daur ulang ponsel dan aksesori di 85 negara, termasuk Indonesia.

Para konsumen juga bisa berperan serta dengan memakai produk multifungsi dan mendaur ulang peralatan elektronik bekas. Namun, tingkat kesadaran masyarakat tentang daur ulang sampah elektronik masih amat rendah. Konsumen bisa ikut gerakan peduli lingkungan dengan membantu daur ulang sampah elektronik, seperti ponsel.

Hasil survei konsumen secara global oleh Nokia menunjukkan, 3 dari 4 orang tidak terpikir untuk mendaur ulang ponsel bekas mereka. Hanya 3 persen konsumen mendaur ulang ponsel.

”Bahkan mereka tidak tahu telepon seluler dan aksesori bekas bisa didaur ulang,” kata Francis Cheong, Manajer Regional Nokia Bidang Market Environmental Affairs, SEAP.

Padahal, daur ulang ponsel bekas berdampak positif terhadap lingkungan. Sebagai contoh, sebuah ponsel bekas yang telah didaur ulang bisa mengurangi emisi gas karbon dioksida 12.585 kilogram.

Situs http://www.epa.gov menyebutkan, 2 juta ponsel yang didaur ulang mengurangi dampak emisi gas rumah kaca setara polusi dari 1.368 kendaraan bermotor selama setahun.

Jika 3 miliar jiwa dari semua orang yang memiliki ponsel di seluruh dunia masing-masing mendaur ulang satu ponsel, akan mengurangi bahan baku 240.000 ton. Manfaat lain adalah mengurangi gas rumah kaca setara 4 juta kendaraan bermotor.

”Gerakan daur ulang sampah elektronik secara global dimulai dari kesadaran diri dan partisipasi yang menghasilkan kontribusi signifikan dalam melestarikan lingkungan berkelanjutan,” kata Francis.

Menunggu Ujung Cerita Komodo Flores

Kompas 2009-07-31/E-Paper Halaman Utama

Oleh : Benny Dwi Koestanto dan Samuel Oktora

Ibarat sebuah lakon, komodo (Varanus komodensis) saat ini sedang menjadi tokoh utama masalah lingkungan dan pariwisata nasional. Semua masih menunggu ujung ceritanya.

Akan jadi manis atau jadi lelakon kontroversial sebagaimana tambahan 8 ekor gajah dari 31 gajah milik Taman Safari Bali di Kabupaten Gianyar kini.

Pekan lalu, Taman Nasional Komodo, salah satu habitat asli komodo di Nusa Tenggara Timur, diumumkan menjadi salah satu finalis Tujuh Keajaiban Dunia Baru yang digelar Yayasan Tujuh Keajaiban Dunia Baru.

Bersama 27 finalis lainnya, Taman Nasional Komodo telah menyisihkan 440 nomine dari 220 negara.

Namun, di internet, ajakan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk mendukung pemilihan itu sama kencangnya dengan seruan penolakan rencana pemindahan 10 ekor atau 5 pasang komodo dari Wae Wuul, Manggarai Barat, Pulau Flores, NTT, ke Provinsi Bali.

Di situs jejaring sosial Facebook, misalnya, seruan itu berbunyi tajam, yakni ”Tolak Rencana Pemindahan Komodo ke Bali”.

Rencana itu menjadi polemik terbaru tentang komodo, yang secara bersamaan juga terimbas masalah aktivitas pertambangan emas di wilayah Batugosok, yang juga terletak di Kabupaten Manggarai Barat.

Masyarakat NTT sejak awal menolak dengan tegas rencana ini. Mulai dari lembaga swadaya masyarakat pemerhati lingkungan, DPRD Kabupaten Manggarai Barat, kepala daerah di Flores, hingga DPRD dan Gubernur NTT Frans Lebu Raya.

Gerakan Pelestarian Komodo Flores, misalnya, menggalang aksi mengumpulkan tanda tangan sebagai bentuk penolakan rencana itu. Muncul penilaian, pemerintah pusat otoriter jika rencana itu benar-benar direalisasikan.

”Jika akan dipindah, sebaiknya jangan ke Bali karena habitat di sana sangat berbeda dengan habitat aslinya di Pulau Rinca dan Pulau Komodo. Pemurnian genetik itu tidak gampang, begitu pula memindahkan hewan ini,” ujar Bupati Manggarai Barat Wilfridus Fidelis Pranda.

Sejumlah kalangan juga menilai pemindahan komodo ke Bali dalam aspek pariwisata sangat merugikan NTT, dan Bali sekaligus.

Flores kehilangan pesona komodonya, sedangkan keunikan seni tradisi dan wisata religi Bali ”teracak-acak” konsep supermarket wisata: puluhan gajah, komodo, dan entah apa lagi kelak….

Apalagi, proses pemurnian genetik itu kabarnya dijadikan atraksi wisata andalan oleh Taman Safari Bali. Dikhawatirkan wisatawan tak lagi berminat ke timur, mengunjungi habitat asli komodo di Flores.

Masyarakat Bali sudah mengambil hikmah dari polemik masuknya tambahan 8 ekor gajah ke Taman Safari Bali yang berujung pelarangan penambahan gajah ke Bali hingga selesainya kajian tentang daya dukung wilayah Bali sejak awal tahun ini.

Kajian terhadap daya dukung Bali itu, misalnya, seberapa besar sih minat turis menonton pertunjukan gajah di Bali? Apa tidak sulit mencari pakan bagi puluhan hewan besar itu? Dalam sehari, seekor gajah butuh kira-kira 2 kuintal makanan berupa pelepah kelapa, buah dan sayuran, serta rumput.

Harap dicatat, sampai saat ini di seluruh Bali sudah ada 86 ekor gajah yang ”dipekerjakan” di tiga taman wisata, yaitu 31 ekor di

Taman Safari Bali (di Lebih, Gianyar), sisanya ada di Taro Gajah Safari (Ubud, Gianyar), dan Bakas Adventures (Klungkung). Selain untuk atraksi wisata, gajah-gajah itu umumnya ditunggangi turis untuk bersafari keluar-masuk desa.

Kekhasan pariwisata Bali yang mengunggulkan wisata budaya dan religi sudah lama dikhawatirkan luntur dan luruh jika pengusaha wisata Bali mengadopsi atraksi wisata satwa seperti gajah dan komodo, juga segala hal, masuk ke sana.

”Bali itu terkenal karena budayanya, bukan karena gajah atau binatangnya. Pariwisata budaya itu sampai kapan pun harus tetap dipertahankan,” kata Gede Nurjaya, mantan Kepala Dinas Pariwisata Bali.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali Agung Wardhana menyatakan, penempatan komodo di Bali menuntut penciptaan habitat buatan agar menyerupai habitat aslinya di Wae Wuul. Untuk itu, ia mendesak Departemen Kehutanan membuka kepada publik kajian analisis mengenai dampak alam dan sosial atas rencana itu.

Sebagaimana termuat dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.384/Menhut-II/2009 tanggal 13 Mei 2009 tentang pemberian izin menangkap 10 ekor komodo, tujuan utama pemindahan adalah pemurnian genetik.

Rencana pemurnian yang akan dilakukan oleh Taman Safari Bali itu, kata Menteri Kehutanan MS Kaban, juga sudah mendapatkan persetujuan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Kaban menyatakan, pemerintah mengambil langkah tersebut sekaligus untuk menyelamatkan komodo di Pulau Flores dari ancaman kepunahan.

Proses pemindahan juga penting karena komodo di Pulau Flores kini terancam karena hidup di areal semak belukar penuh rumput kering yang pada musim panas sangat mudah terbakar. Persoalan yang lebih penting: komodo mulai masuk ke perkampungan dan memangsa ternak warga.

Namun, otoritas Taman Safari Bali enggan berkomentar tentang polemik ini. Namun, Seperti ditegaskan Direktur Taman Safari Indonesia Tonny Sumampau, pemurnian genetik semata-mata demi kepentingan konservasi, dan komodo yang dikembangbiakkan di Taman Safari Indonesia tidak ditujukan untuk dijual atau ditukarkan dengan satwa dari luar negeri.

Selain Taman Safari, sejumlah lembaga konservasi eksitu (luar habitat alami) telah mengoleksi komodo, di antaranya Kebun Binatang Ragunan (Jakarta), Kebun Binatang Surabaya, dan Kebun Binatang Gembira Loka (Yogyakarta).

Namun, seperti dilansir Kompas.com, data genetika komodo di semua daerah di NTT sebenarnya sudah tersedia, yakni hasil penelitian Tim Peneliti Kajian DNA Molekuler Komodo Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI beberapa tahun lalu. Kajian diversitas genetik itu diperoleh setelah meneliti 154 sampel darah komodo yang dikoleksi dari Pulau Flores bagian utara, Flores bagian barat, Gili Montang, Nusa Kode, Rinca, dan Pulau Komodo.

Itulah sebabnya, argumen pemurnian genetik di Bali itu dinilai salah tempat. Menurut Koordinator Gerakan Pelestarian Komodo Flores Rofino Kant, pemurnian itu semestinya dilakukan di habitat aslinya, bukan di Bali.

Seiring dengan hal itu, pemerintah pusat justru lebih tepat meningkatkan fasilitas konservasi komodo di Flores.

”Fasilitas di Wae Wuul amat minim. Begitu pula fasilitas secara umum dalam lingkup BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) II yang meliputi Flores-Alor-Lembata.

Penolakan-penolakan itu sesungguhnya adalah bentuk kecintaan masyarakat kepada komodo dan habitat aslinya. Jelas publik menunggu pencabutan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tersebut, dan pernyataan pembatalan rencana pemurnian genetik komodo oleh Taman Safari Indonesia.

Banyak Ruko Langgar Garis Sempadan

Kendari Ekspres 2009-07-31/Halaman  8 Kota Ekspres

Kendari– Selain banyak yang tidak memiliki amdal, ruko-ruko yang berjejer sepanjang jalan di Kota Kendari ternyata banyak yang melanggar garis sempadan (garis batas luar jalan dan bangunan).

Tengok saja, beberapa bangunan ruko yang ada di wilayah Anduonohu, menurut salah satu anggota DPRD Kota Kenadri, Haskar Hafid menyebutkan, letak ruko-ruko yang disana sudah mirip gergaji. Ada maju di depan, ada juga yang mundur sekali ke belakang, sehingga kelihatan dari samping seperti model gergaji.

Begitu pun yang terlihat sepanjang ruas jalan Wua-Wua. Wajar jika sering terjadi kemacetan di wilayah sana karena jarak anatara ruko dengan badan jalan sangat mepet sekali.

Sejatinya, jika merujuk ke aturan garis sempadan, ruas jalan dengan bangunan idealnya 25 meter.

“Ini luput dari perhatian pemerintah kota selama ini. Terus menerbitkan IMB tanpa memperhatikan keterbitan bangunan. Percuma ada aturan garis sempadan tapi terus diabaikan”, kata Haskar Hafid mengingatkan Dinas Tata Ruang Kota supaya segera melakukan penertiban terhadap ruko-ruko yang dinilai telah melanggar garis sempadan saat rapat pembahasan perhitungan dengan SKPD-SKPD di kantor DPRD Kota Kendari, kemarin (30/7).

Menanggapi hal itu, Kadis Tata Ruang Kota Kendari, A Adam Patawari melakukan pembelaan diri. Menurutnya, saat ini belum bisa dilakukan penertiban karena belum ada hasil revisi tata ruang kota yang pasti sebab tengah dilakukan perbaikan.

“Kami juga sedang menunggu hasil revisi tata tuang” katanya.

Selain bangunan ruko, DPRD juga menyoroti timbunan di belakang kafe Dunia Bintang. Timbunan yang ada di sana juga dinilai menyalahi aturan garis sempadan sungai. Akibat timbunan, bibir sungai mulai mengalami penyempitan.

Coremap II Wakatobi Sadarkan Masyarakat Dengan Pemahaman

Kendari Ekspres 2009-08-30/Halaman 9 Baubau Ekspres

Dulu Pamali Sekarang DPL

Nama Wakatobi diambil dari rangkuman nama empat pulau utama di kawasan itu, Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Tahun 1996 perairan ini ditetapkan sebagai taman nasional.

Dulu daerah ini disebut Kepulauan Tukang Besi saat masih tergabung di Kabupaten Buton.

Kepulauan yang hanya memiliki daratan seluas 820 kilometer persegi, berpenduduk 100.000 jiwa, dan memiliki kawasan laut seluas 18.000 kilometer persegi itu mekar menjadi kabupaten sejak 2003.

Secara keseluruhan, kawasan Wakatobi menyimpan kekayaan berupa 396 spesies karang laut dan 600 spesies ikan. Terkaya di dunia.

Laporan: Abdullah, Wakatobi

Dalam membangun daerah ini Pemerintah Kabupaten Wakatobi telah menetapkan visi pembangunan ‘terwujudnya surga nyata bawah laut di jantung segitiga karang dunia’.

Visi ini mengandalkan leading sektor Kelautan Perikanan dan Budaya Pariwisata sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi. Untuk itu yang menjadi perhatian pemerintah saat ini adalah bagaimana masyarakat dapat menikmati kekayaan laut melalui bisnis pariwisata dan usaha perikanan, tanpa merusak kelestarian ekosistemnya.

Hal ini tentulah tidak mudah, berbagai upaya ditempuh pemerintah termasuk menerima uluran kerja sama dari Coremap (Coral Reef Rehabilitation and Management Program), lembaga internasional yang peduli pada kelestarian terumbu karang.

Saat ini telah berjalan pada tahapan II. Upaya apa yang dilakukan Coremap II dalam melindungi kelestarian karang di Wakatobi?

Dari ketinggian 50 meter, mata kami langsung dimanjakan dengan pemandangan nan cantik menawan, pohon nyiur berjejer disepanjang pantai. Daun-daunnya menlambai seakan menyambut kedatangan kami.

Hamparan pasir putih di Pantai Huntete begitu asri tak tampak ada kehidupan disana. Meskipun daerah ini begitu luas dan datar. Cocok jika dijadikan sebagai perkampungan nelayan. Mengaksesnya pun kita hanya butuh waktu sekitar 30 menit dengan kendaraan roda dua maupun empat dari Usuku Ibu Kota Kecamatan Tomia Timur Kabupaten Wakatobi.

Setelah menuruni ketinggian dan mendekat dibibir pantai rasa takjub kami akan karunia Allah SWT makin menjadi.

Gemericik air laut yang jernih dari obak-ombak kecil dipadu dengan hembusan angin menghasilkan nyanyian alam yang begitu merdu. Suasana ini makin membuat kami betah ditempat itu.

Hanya saja yang ada membuat saya berguman dalam hati, sedari tadi tak satupun nelayan terlihat mencari ikan disekitar tempat itu.

Pada hal kondisi laut begitu teduh, dan ikan terlihat berlompatan kesana-kemari, Pada hal sekitar satu kilo meter dari lokasi ini terdapat satu perkampungan yang diberi nama Desa Kulati.. Masuk wilayah administrasi Kecamatan Tomia Timur.

Mengobati rasa penasaran dalama hati, saya mendekati seorang bapak tua yang ternyata bernama Muhtar.

Darinya saya dapat mengorek informasi bahwa kawasan Huntete dan Karang Liangkuri-Kuri ini sejak dulu memang tak pernah dimanfaatkan oleh nelayan.

Pasalnya kawasan ini dikeramatkan oleh penduduk Pulau Tomia. Jangankan untuk mencari ikan, melintas saja tak boleh. Apalagi kalau mengenakan pakaian berwana merah dan sampai bersuara keras. Kalau ini berani dilanggar kontan orang tersebut akan menderita sakit keras dan meninggal.

Ansar SPi, Community Fasilitator Coremap II Wakatobi untuk wilayah Kecamatan Tomia Timur menuturkan, kini Pantai Huntete yang masuk dalam Kawasan karang Liangkuri-Kuri tak hanya menjadi tempat yang disakralkan penduduk setempat, tetapi telah ditetapkan sebagai kawasan Daerah Perlindungan Laut (DPL), pertimbangannya, kawasan ini patut dilindungi karena teridentifikasi sebagai tempat pemijahan ikan Sunu dan Napoleon.

Sementara dalam perspektif ekowisata daerah ini bisa dipakai sebagai daerah penyelaman dengan obyek berupa kapal yang karam dan tak kalah menariknya yaitu keindahan biota lautnya.

Upaya ini merupakan langkah pemaduserasian antarbudaya dan pembangunan kesadaran masyarakat akan pentinnya pelestarian karang, karena salah satu factor pendukung yang terpenting dalam proses pembangunan adalah budaya. Oleh karena itu pelaksanaan pembangunan hendaknya mengacu pada konsep yang melatarbelakangi nilai-nilai budaya masyarakat local.

Demikian pada upaya untuk penyelamatan lingkungan termasuk wilayah pesisir dan pedesaan. Berbagai hal yang menyebabkan masyarakat terus mengeksploitasi lingkungan adalah karena ketidakperdulian mereka akan lingkungan yang disebabkan karena ketidaktahuan mereka terhadap manfaat jika karang tetap lestari.

Bagi masyarakat pedesaan dan pesisir kerusakan lingkungan lebih dipacu oleh kebutuhan akan sumberdaya yang ada disekitar mereka yang merupakan sumber mata pencahariannya. Intensitas eksploitasi yang tinggi telah mendorong mereka untuk menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (bahan peledak dan racun) dan lebih diperparah lagi oleh adanya penambangan batu karang.

Eksploitasi akan dibatasi oleh adanya nilai-nilai budaya yang telah mengakar pada daerah tersebut contoh Kepercayaan mistis yang kerap kali membatasi ruang gerak dan terlebih itu bisa dibuktikan dengan apa yang dialami oleh masyarakat ketika melanggar aturan yang telah ditetapkan.

Pertanyaannya kini, sejauh mana kepercayaan yang dianut masyarakat tersebut akan bertahan. Mengingat perkembangan ilmu dan pengetahuan yang pesat saat ini.

Untuk itu perlu upaya membangun kesadaran masyarakat dalam menjaga keberlangsungan sumberdaya laut berupa karang dan ikan atas dasar pengetahuan mereka tentang manfaat yang akan didapatkan jika karang tetap lestari.

Ediarto Rusmin BAE, Wakil Bupati Wakatobi mengatakan, sejak dulu masyarakat Wakatobi telah akrab dengan kehidupan laut dan menjadikan laut sebagai sumber kehidupan, sehinggal hampir seluruh masyarakat Wakatobi hidupnya tidak terlepas dari fungsi-fungsi laut.

Pengelolaan laut Wakatobi sebelum otonom belum ada hukum yang mengatur masih mengelola dengan perasaan namun sebagian daerah sudah mengelola dengan kearifan local dan berkembang dengan ditetapkanya Wakatobi sebagai Kawasan Taman Nasional saat masih bergabung dengan Kabupaten Buton.

Ketika daerah ini telah mandari dalam berbagai hal maka konsep DPL yang diperkuat dengan Perdes dan Perbup. Kabupaten Wakatobi memilah dua fungsi laut yakni laut sebagai fungsi konservasi dan fungsi ekonomi.

Burhanudin, Kepala Desa Kulati, juga menturrkan dulu masyarakat daerah ini sangat menjaga kawasan Liang Kuri-kuri. Mereka melakukannya karena tak mau ditimpa musibah (Pamali). Kini zaman telah berubah dan kepercayaan akan mitos juga akan berkurang tergilas arus globalisasi.

Penetapan DPL untuk wilayah ini merupakan langkah tepat, untuk lebih menjaga dan memelihara kelestarian kawasan Liangkuri-Kuri. Jika dulu masyarakat enggan melakukan kegiatan dikawasan ini karena tak mau terkena akibat dari pelanggarannya (pamali), melalui DPL saatnya masyarakat disadarkan untuk tak mengeksploitasi karang di kawasan ini berdasarkan pemahaman dan pengetahuan tentang apa yang akan diperoleh jika karang tetapi terjaga.

Masih dari Burhanuddin, berdasarkan kesepakan bersama masyarakat, pembagian kawasan Liangkuri-Kuri yang terdiri dari kawasan Pantai Huntete (daerah pemanfaatan), Uju (tanjung, dalam bahasa setempat) Sanga-sanga, Pasi Nikoalu (penyangga) dan Pasi Tee (daerah inti). Luasnya mencapai 10 ha.

Setelah berjalan beberapa tahun, manfaat dari penetapan DPL telah dirasakan masyarakat, diantaranya beberapa jenis ikan tertentu seperti ikan ole dan ikan lajang yang selama 3 tahun tidak pernah muncul, belakangan ini sudah kembali.

Demikian halnya dengan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti bom, bius dan penambangan batu karang, karena pendampingan dan penyadaran secara intensif pada mereka kini tidak ada lagi masyarakat lokal yang melakukannya.

Dari fakta diatas, kita dapat berkesimpulan bahwa kearifan lokal terbukti ampuh memelihara alam dari kerusakan dari dulu hingga sekarang.

Saatnya memadukan konsep yang dilatarbelakangi nilai-nilai buday
a ini dengan konsep moderen seperti DPL, tetapi perlu diingat masyarakat harus disadarkan karena pengetahuannya akan manfaat yang diperoleh dari penerapan konsep tersebut. Terumbu karang lestari, ikan berlimpah

Pemkab Masih Kesulitan Bantu PLN Bombana

Harga Mesin Dinilai Terlalu Mahal

Kendari Ekspres 2009-08-30/Halaman 16 Sultra Raya

Rumbia– Kondisi listrik Bombana yang saat ini terbilang sudah sangat memprihatinkan dan kronis nampaknya akan berlangsung lama. Pasalnya selain PLN kekurangan mesin juga mesin yang ada sekarang ini, kerap mengalami kerusakan.

Bukan hanya itu, Pemkab Bombana yang diharpkan dapat membantu mengatasi untuk pembelian dan pengadaan mesin baru ternyata belum memberikan kepastian yang jelas dengan kata lain Pemkab seakan ragu dan sulit untuk membantu mengatasi persoalan listrik dengan mengalokasikan anggaran pada tahun 2010 mendatang untuk pembelian dan pengadaan mesin baru ternyata belum memberikan kepastian yang jelas dengan kata lain Pemkab seakan masih ragu dan sulit untuk membantu pihak PLN Bombana dalam mengalokasikan dana untuk pengadaan mesin baru.

Alasan Pemkab Bombana cukup simpel yakni harga untuk pembelian mesin baru diniali terlampau mahal yang mencapai milyaran rupiah. Hal ini dikatakan Bupati Bombana, Dr H Atikurrahman MS. Sehingga pada 2010 diprediksi tidak bakalan ada lokasi anggaran untuk pembelian mesin dalam membantu PLN Bombana guna mengatasi pemadaman bergilir yang sudah berlangsung lama.

“Harga mesin terlalu mahal, jadi untuk memberikan bantuan mesin pada PLN di tahun 2010 sepertinya masih sulit karena dana yang dibutuhkan terlampau besar”, ungkapnya.

Ia seakan pesimis bila kondisi listrik Bombana pada tahun 2010 akan membaik. Kendati demikian, listrik Bombana sekarang ini sangat memprihatinkan karena kemampuan  power yang memang sudah tidak sebanding dengan jumlah pelanggan tapi untuk pembelian mesin baru atas lokasi bantuan dana Pemkab Bombana masih terbilang sulit direalisasikan pada tahun depan. Dikatakan, yang dilakukan pemerintah adalah pemasangan lampu jalan khususnya di wilayah ibukota dengan menggunakan tenaga matahari.

Dengan menipisnya harapan akan adanya bantuan mesin dari pemerintah setempat, tentu diperkirakan kondisi listrik yang saat ini masih bergilir dan dalam sehari semalam hanya menyala sekitar 12 jam plus tidak dapat dinikmatis etiap hari akan semakin berkepanjangan.

Bahkan, tahun 2010 masyarakat Bombana yang menjadi pelanggan PLN kemungkinan besar akan tetap meraskan kondisi listrik seperti sekarang.

Karena salah satu solusi alternatif yang diharapkan dapat membantu mengatasi persoalan listrik adalah bantuan mesin dari pemerintah tempat namun ternyata Bupati tidak berani menjanjikan ataupun memberikan jaminan kalau bantuan itu akan terealisasi dikarenakan dana yang dibutuhkan dianggap cukup besar.

Padahal manager PLN Bombana, Sahri Leleng yang ditemui diruang kerjanya mengaku bila pemerintah setempat dalam hal ini Bupati Bombana sudah menyanggupi akan mengalokasikan bantuan dana untuk pembelian mesin yang direalisasinya diperkirakan pada 2010 menadatang.

Ia juga menegaskan, sat sekaarng memnag pemadaman bergilir adalhs ebuah kenytaan yang tidak dapt dihindari karena kerapnya terjadi kerusakan pada msein pembangkit baik PLTD Ladumpi maupun PLTD Kasipute.

Dalam mengatasi kondisi listrik yang memprihatinkan tersebut, pihaknya telah merencanakan dua alternatif yakni menunggu janji alokasi bantuan pengadaan mesin dari Pemda Bombana dan atau melakukan interkoneksi dari sistem Kendari dengan menambah jaringan dari Tinanggea.

Anak Krakatau Masih Aktif

Kompas 2009-07-30/E paper Halaman 23 Nusantara

Bandar Lampung – Gunung Anak Krakatau masih aktif dengan tingkat keaktifan fluktuatif. Akibatnya, Gunung Anak Krakatau tetap berstatus siaga. Pelayaran di sekitar gunung berapi dinilai masih berbahaya. 

Kepala Pos Pemantau Gunung Anak Krakatau Andi Suwardi saat dihubungi di Desa Hargo Pancuran, Rajabasa, Lampung Selatan, Rabu (29/7), mengatakan, Gunung Anak Krakatau menunjukkan peningkatan letusan.

Pada Minggu lalu, tingkat letusan mencapai 136 kali dengan getaran 160 kali. Gempa vulkanik B (dangkal) terjadi 16 kali disertai 49 kali embusan (gulungan asap dengan partikel tipis yang muncul sebelum atau sesudah letusan).

Pada Senin, letusan meningkat menjadi 142 kali dengan getaran 77 kali, embusan 32 kali, serta gempa vulkanik dangkal satu kali.

Selasa, intensitas letusan turun menjadi 89 kali. Getaran mencapai 129 kali dengan embusan 45 kali dan tujuh kali gempa vulkanik dangkal.

Andi mengatakan, berdasarkan hasil pantauan alat pemantau keaktifan gunung sepekan terakhir, tingkat keaktifan gunung berapi di Selat Sunda itu fluktuatif.

Letusan bisa terjadi 50-100 kali dalam sehari. Satu letusan dengan letusan berikutnya terjadi dalam jarak 5-20 menit sekali.

Andi mengatakan, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi pasti memiliki perhitungan sendiri terkait kondisi gunung berapi yang tengah aktif itu sehingga sampai saat ini statusnya masih siaga.

Vegetasi hangus

Subakir, Kepala Seksi I Telukbetung Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung, mengatakan, keaktifan gunung berapi yang memuntahkan debu dan batuan panas tersebut sudah menghanguskan sebagian vegetasi dan hutan di Gunung Anak Krakatau.

”Sebagian hutan dan vegetasi di bagian depan daratan Gunung Anak Krakatau habis terbakar,” kata Subakir.

Andi mengatakan, habisnya vegetasi tersebut terjadi karena pengaruh angin. Angin yang bergerak dari selatan ke timur mendorong material pasir dan batuan panas jatuh ke bagian vegetasi pulau.

Dengan keaktifan yang fluktuatif tersebut, Pos Pemantau Gunung Anak Karkatau tetap mengimbau nelayan agar tidak melaut di sekitar gunung berapi tersebut. Para nelayan tetap diminta berhati-hati saat melaut.

Dibangun, 1.744 Hektar Hutan Tanaman Rakyat

Kompas 2009-07-30/E paper Halaman 23 Nusantara

Palangkaraya- Hutan tanaman rakyat seluas 1.744 hektar mulai dibangun di Kecamatan Arut Utara dan Pangkalan Banteng, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. HTR ini dibangun di kawasan seluas 11.924 hektar yang dicadangkan Menteri Kehutanan untuk pelaksanaan program tersebut.

”Kotawaringin Barat merupakan satu di antara tiga kabupaten di Indonesia, selain Mandailing Natal (Sumatera Utara) dan Sarolangun (Jambi) yang mulai membangun HTR,” kata Kepala Balai Pemantauan dan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XII Kus Darmodjo di Palangkaraya, Rabu (29/7).

HTR adalah program Departemen Kehutanan yang digagas tahun 2007. Selain untuk merehabilitasi lahan kritis dan tidak produktif di kawasan hutan, program itu juga bertujuan memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar hutan.

Masyarakat diberi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) HTR di suatu kawasan oleh Bupati atas nama Menteri Kehutanan.

Masyarakat dapat menanam, memelihara, dan memetik hasil hutan dari pohon yang mereka tanam di kawasan HTR. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu HTR itu berlaku selama 60 tahun dan dapat diperpanjang lagi selama 35 tahun.

Tanaman pokok yang ditanam di HTR antara lain meranti, keruing, jati, sengon, sonokeling, akasia, durian, mahoni, dan kemiri.

Di sela tanaman pokok dapat ditanami tanaman sela (tumpang sari), seperti jagung atau padi, untuk menambah pendapatan.

”HTR di Kotawaringin Barat dikelola koperasi. Saat ini mereka sedang menyemaikan bibit, termasuk akasia,” kata Kus.

Dengan adanya izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu HTR, kata Kus, masyarakat memiliki jaminan hukum dalam mengelola dan memanfaatkan hasil hutan.

”HTR ini sekaligus dapat menjadi program terobosan dalam mengurangi lahan kritis yang ada di Kalteng,” katanya.

Berdasarkan data Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Kahayan dan BP DAS Barito, luas lahan kritis di Kalteng mencapai 9,5 juta hektar.