Lembar Informasi 2009-05 Moratorium Tambang Emas Bombana Demi Perbaikan Yang Lebih Baik

FS0905 Moratorium Tambang Emas Bombana demi Perbaikan yang lebih baik

Moratorium Tambang Emas Bombana Demi Perbaikan Yang Lebih Baik

Sejak tahun 2003 lalu, Bombana resmi menjadi sebuah kabupaten, pemekaran dari Kabupten induknya, Buton. Memiliki wilayah daratan seluas 284.536 hektar dengan perairan laut seluas 11.837,31 kilometer persegi. Secara geografis, terletak di bagian selatan garis khatulistiwa, memanjang dari Utara ke Selatan diantara 4 20 – 5 20 Lintang Selatan (sepanjang 180 km) dan membentang dari Barat ke Timur diantara 121 30 – 122 20 BT (sepanjang 154 km) provinsi Sulawesi Tengara (Sultra).

Emas Bombana ditemukan pada pertengahan bulan Mei 2008 lalu, dan mendorong maraknya penambang di daerah tersebut. Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bombana, mencatat sebanyak 81 ribu orang terdaftar sebagai pendulang emas di hamparan lahan seluas 500 hektar. Mereka bekerja pada kedalaman antara 150 meter sampai 200 meter. Itu belum terhitung pendulang liar lainnya. Dinas ini memprediksi sekitar 165 ribu ton deposit emas di Bombana.

Dalam kajian yang dilakukan Pemerintah Daerah, deposit emas di Bombana akan dikelola dengan dua cara. Pertama : Memberdayakan warga lokal melalui pertambangan rakyat. Dimana kandungan emas yang berada di dalam sungai dan sepanjang sungai Tahi Ite (20 kilometer), akan dibagi dalam 20 zona pendulangan, setiap zona berukuran 50 meter persegi. Kedua: untuk mengeksplorasi kandungan emas yang berada di perbukitan, pemerintah akan mengundang investor atau kuasa pertambangan. Potensi ini berada si sekitar desa Raurau. Untuk mengatur regulasi antar perusahaan tambang, Pemerintah Kabupaten mengeluarkan peraturan Bupati tentang zona maupun kontribusi perusahaan terhadap daerah.

Saat ini terdapat 12 Kuasa Pertambangan (KP) yang siap mengekstraksi kandungan emas di Bombana. Empat perusahaan diantaranya adalah PT. Panca Logam makmur, PT. Tiram Indonesia, PT. Sumber Alam Mega Karya, PT. Talenta, yang pelaporannya telah berjalan sejak Oktober 2008.

Tapi sejumlah penggiat lingkungan, diantaranya Wahana Lingkungan Hidup secara tegas menyatakan lokasi pertambangan Bombana telah mengalami kerusakan parah akibat pendulangan emas tahun 2008. Timbunan material di bantaran sungai Tahi Ite sudah menggunung, membentuk bukit bebatuan. Pertambangan yang telah berlangsung menghilangkan fungsi-fungsi perlindungan alami ekologi dan menyebabkan terjadinya perubahan besar tak hanya dari segi fisik lingkungan tapi juga kehilangan keanekaragaman sumber genetik dan vegetasi lahan. Perubahan rona lingkungan (geobiofisik dan kimia) itu juga menimbulkan pencemaran badan perairan, tanah dan udara.

Sejumlah kasus telah terjadi di Indonesia akibat penambangan yang dilakukan tanpa kajian mendalam dan upaya-upaya untuk merestorasi kembali lingkungan pasca tambang. Pertambangan di Teluk Buyat Minahasa-Sulawesi Utara, pencemaran sungai Ajakwa di Asmat Papua atau kehilangan mata pencaharian sebagian besar nelayan di desa Tambea, Kecamatan Pomalaa-Kolaka, semua ini adalah dampak dari pengelolaan tambang.

Di Bombana, dalam kurun waktu enam bulan sejak praktek pendulangan emas berlangsung, pemerintah daerah sudah dirugikan sekitar 1,8 trilyun rupiah (Kendari Pos, Selasa, 5/5/09). Selain itu, pengelolaan tambang emas di Bombana yang tidak dikelola dengan rapi, mengkontribusikan inflasi dan menyebabkan tingginya pasokan uang kartal yang tidak dimanfaatkan di daerah Sulawesi Tenggara namun justru di luar daerah ini.

Atas berbagai alasan tersebut, Pemerintah diharapkan mengambil inisiatif pengelolaan sumberdaya alam yang lebih arif, memikirkan generasi hari ini dan generasi mendatang. Bila perlu, sambil menunggu adanya kajian yang lebih baik, deposit tambang emas di Bombana lebih baik di moratorium dulu demi perbaikan yang lebih baik.

Informasi lebih lanjut, hubungi:
Sahrul, anantamagelo@telkom.net

LSM Sagori, Jl. Banteng, No. 01, Kelurahan Lauru-Bombana

FPIK Akan Seminar Pengembangan Industri Rumput Laut

Media Sultra 2009-05-18/Hal.6

Dalam rangka mendukung program kesejahteraan pesisir sekaligus membac-up program gubernur Sultra Nur Alam, BAHTERAMAS maka Fakultas Perikanan dan Kelautan (FPIK) Unhalu akan mengadakan Seminar Nasional Prospek Pengembangan Olahan Industri Rumput Laut.

Seminar dijadwalkan tanggal 18 Mei 2009 digedung baru administrasi FPIK, kampus baru Unhalu. Menurut Dekan FPIK Prof. Dr.La Ode M. Aslan,Msc.menyatakan Seminar Pengembangan Industri Olahan Rumput Laut merupakan tindak lanjut hasil pertemuan di Manado World Ocean Conference (WOC) yang dihadiri beberapa pakar/ahli rumput laut sedunia.”Saya sangat berharap agar Sultra bisa mendorong komoditas andalan dengan pengelolahnya sebagai produk andalan seperti produk agar-agar, semi-refined carageenan (SRC) atau gel rumput termasuk produk kosmetik atau makanan berkualitas yang bernilai tambah.

Menurut Aslan produk olahan bernilai 20-40 kali lipat dibanding bila kita menjual rumput laut dalam bentuk kering (dreid seaweed).Dalam seminar ini akan menghadirkan Prof.Dr.Jana Anggadireja, pakar rumput  laut nasional, dan Deputi Menteri Riset dan Teknologi.Dihadiri pula para dosen dalam lingkup FPIK Unhalu, Kepala Dinas kelautan dan Perikanan se-Sultra, Bapelda Sultra, Kepala LP2M Unhalu, Kepala Lembaga Penelitian, LSM,perwakilan lembaga kemahasiswaan, dan pelayanan pembudidayaan rumput laut dan pakar kewirausahaan dari Unhalu.