Rubrik Wonua, 2008-04-05

Jejak

Mencemaskan Degradasi Lingkungan

PEMENANG nobel ekonomi tahun 2001, Joseph E Stiglitz dalam buku ‘dekade keserakahan, era 90 an dan awal mula petaka ekonomi dunia’, mengatakan kita perlu memperhatikan kesetaraan dan keadilan tak hanya bagi generasi yang hidup masa kini, tapi juga lintas generasi. Pertumbuhan ekonomi saat ini jangan sampai membebani kesejahteraan generasi mendatang. Itulahsalah satu alasan mengapa perlu mencemaskan degradasi lingkungan hidup.

Seluruh naskah dilansir oleh Abdul Saban

Pomalaa, Kabupaten Kolaka—seluas 333,82 hektar– menjadi incaran perusahaan-perusahaan tambang sejak tahun 1909, ketika kali pertama bijih nikel—logam yang terbentuk dari proses alam– berkadar tinggi dinyatakan ada dalam perut Pomalaa. Sejak itu, eksplorasi nikel dimulai tahun 1934 dan produksi dimulai tahun 1939. Namun, geologi lembar Kolaka yang dikeluarkan oleh Pusat penelitian dan pengembangan Geologi menunjukkan Pomalaa tak hanya menyimpang bijih nikel, tapi juga magnesit, sejenis batuan beku yang sering digunakan untuk bahan bangunan dan industri.

Bertahun-tahun setelahnya, hanya PT Antam Tbk, perusahaan milik negara yang bertahan di Pomalaa dengan konsensi seluas 8,314 hektar. PT Inco juga masuk dengan kontrak karya seluas 63,506 hektar (meliputi Pomalaa, Kolaka dan Lasusua). Tahun 2007, 10 perusahaan masing-masing PT Pertambangan Bumi Indonesia, PT Rinjani Angkawijaya Lestari, PT Putra Mekongga Sejahtera, PT Dharma Bumi Kendari, PT Toshida Indonesia, PT Cinta Jaya, PT Dharma Rosadi Internasional, PT Citra Arya Sentra Hutama, PT Bola Dunia Mandiri dan Perusahaan Daerah memperoleh izin kelola tambang dari Pemerintah Daerah Kolaka.

Berbagai usaha tambang itu menempatkan Kolaka sebagai kabupaten dengan pendapatan ekonomi terbesar dibanding kabupaten lain. Tapi, bila, pemerintah Kabupaten Kolaka menyebut usaha tambang sebagai usaha penopang perekonomian negara maka Joseph E Stigitlitz –pemenang nobel ekonomi tahun 2001—menyebutnya sebagai pertumbuhan ekonomi yang membebani kesejahteraan generasi mendatang. Ini karena apa yang telah dilakukan pada hari ini tak akan memberi citra sama tentang alam ini, yang bisa dinikmati tahun-tahun mendatang.

“Tambang menimbulkan perubahan bentang alam. Karena itu, sebesar apapun usaha reklamasi maupun perbaikan lingkungan yang diperbaiki, tak akan pernah memperbaikinya,” kata Boorliant Satranaya, senior supervisor mine reclamation PT. Inco, Tbk. Perusahaan ini mengeluarkan biaya Rp 50-60 miliar per tahun untuk mereklamasi lahan pasca eksplorasi di wilayah Soroako. Ia hendak mengatakan, dengan biaya sebesar itu, PT Inco menunjukkan tanggungjawab yang tak main-main. Berarti pula, bila PT Inco telah beroperasi secara penuh di Pomalaa, maka biaya yang dikeluarkan untuk reklamasi akan mungkin sama besarnya.

PT Aneka Tambang, melalui Imron Rosidin juga mengatakan hal yang sama. “Kami lakukan berbagai upaya untuk memperbaiki lingkungan pasca eksplorasi,” katanya. Tapi semua itu tak pernah cukup, dan seperti kata Joseph Stiglitz, kita perlu mencemaskan perubahan bentang alam yang terjadi pasca tambang dan upaya-upaya yang dilakukan oleh perusahaan tambang di Kolaka.

Dari Kami

Kegiatan tambang dimulai dengan cara ini, pembersihan lahan (dengan merubuhkan pohon-pohon), pengupasan tanah penutup bagian atas, penambangan, penyimpanan/penimbunan tanah penutup dan transportasi, serta pengolahan dan permurnian. Semua proses itu menimbulkan dampak lingkungan dan membawa perubahan fisik, kimiawi dan biologi pada ekosistem sekitar.

Lalu yang kita saksikan selanjutnya adalah sejumlah tempat mengalami perubahan. Dari bukit padat pohon menjadi bukit gundul dan erosi dimana-mana. Tak mungkin mendapatkan gambaran yang sama tentang kondisi Pomalaa masa lalu dan hari ini. Peristiwa sama juga terjadi di daerah lain yang dikepung usaha-usaha tambang. Kegiatan tambang memberikan dua sisi mata uang, keuntungan sekaligus kerugian. Karenanya, pada bulan ini kami mendedikasikan informasi tentang tambang bagi pembaca dan menitip harapan Pemerintah memiliki kepekaan mengelola wilayah dan mampu mewariskan bumi yang indah pada generasi ke depan.
Editor

Fokus

Menyelipkan Banyak Citra

Citra kota tambang muncul dari raungan sirene yang mengingatkan dump truck akan lewat dari kompleks PT Antam, puluhan bahkan ratusan pekerja dengan helm pengaman dan sepatu boot yang praktis nyaris sama, meski mereka mewakili perusahaan tambang yang berbeda serta kendaraan jip berkecepatan tinggi meliuk-liuk di jalan produksi.

Citra kekayaan Pomalaa dikemukakan oleh Sofyan Iskandar, dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI). Menurutnya, bijih nikel di Pomalaa masih bisa dikeruk hingga 50 tahun ke depan. “Kadarnya tinggi sekali,” katanya takjub. Dan yang terjadi, ramai-ramai perusahaan tambang terutama KP mengirim ore–tanah bercampur bijih nikel ke luarnegeri. “Seperti mengirim bahan galian C saja,” kritik Siti Maemumah, Ketua advokasi jaringan tambang Indonesia.

Citra itu juga muncul dari teriakan pemrotes akan kebijakan Bupati Kolaka, Bukhari Matta –yang memberikan izin pengelolaan tambang bagi KP-KP. Mereka mempertanyakan siapakah kelak bertanggungjawab terhadap perbaikan lingkungan pasca KP-KP itu selesai?

Namun citra akan efek tambang terlihat pada warga yang menetap di sekitar usaha tambang. Desa kecil mereka, Tambea seperti dikepung. Laut depan desa kini berwarna coklat keruh. Erosi terjadi tiap musim hujan, mengalirkan tanah yang kehilangan ikatan dengan pohon ke pesisir pantai. “Lahan budidaya teripang kami hancur karena timbunan tanah yang mencemari pantai dan sekitanya,” keluhSudirman.”Tak tahu harus kerja apa lagi,” katanya. Ia memperoleh ganti rugi Rp 2.000 per meter. Sudirman adalah satu dari 20 nelayan budidaya taripan di areal 50 Ha. Total kerugian bagi nelayan saat itu adalah ; matinya 300.000 ekor taripang.

Pada tanggal 6 Mei 2005 lalu, petani teripang di Desa Tambea, Pomalaa, Kabupaten Kolaka, mengirim surat kepada PT. Antam sehubungan dengan kasus kematian teripang budidaya mereka.

Tim Antam lalu mengecek di pantai Tambea dan menemukan fakta tumpukan tanah hasil pengerukan penambangan tergerus air hujan yang mengakibatkan terjadinya pelumpuran di areal budidaya teripang, yang harus dilakukan adalah membangun cek dam atau tanggul di pinggir pantai sepanjang kurang Iebih 5 kilometer.

Hasil identifikasi lain dilakukan tim satuan petugas pengawas perikanan Kendari dan Kasubdit Wasdap pencemaran perairan menyimpulkan, telah terjadi limpasan lumpur yang berasal dari bekas penambangan, berupa suspended solid yang mengeruhkan areal budidaya teripang dan mematikan organisme budidaya laut. Akibatnya kadar oksigen terlarut air laut menurun (DO =Desolved Oxygen).

“Sekarang, bayangkan apa yang akan terjadi pada perairan Tambea, tak hanya Antam yang ada di sini, tapi juga KP-KP. Kalau ada masalah lagi, siapa yang akan bertanggungjawab?” tanya Sudirman lagi.

Citra lain adalah tingginya pengidap infeksi saluran pernapasan dan alergi kulit di Pomalaa. Meski tak relevan karena minimnya penelitian soal ini, tapi dalam 2007, Puskesmas Dawi-dawi mencatat kenaikan pasien dengan penyakit sama. “Tapi sekali lagi saya katakan, perlu penelitian lebih lanjut apakah ini karena dampak tambang atau tidak,” kata Muhammad Rafi, dokter puskesmas itu.

Morini

No More Tambang

Kasus tambang-tambang di Indonesia mengajarkan satu hal ; hati-hati. Seringkali kenaikan ekonomi daerah tak relevan dengan dampak yang ditimbulkan. Deputi Pengendalian Dampak Lingkungan dan Sumber Institusi Kementerian Lingkungan Hidup, Isa Karmisa mengatakan, hasil penelitian JICA, badan peneliti Jepang yang bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup 1991-1998, menunjukkan adanya peningkatan jumlah penderita hipertensi akibat pencemaran timbal (Pb).

Penderita hipertensi ini disebabkan keracunan Pb yang ditemukan di dalam darah si penderita. Penyakit hipertensi ini bisa berkomplikasi dengan jantung, ginjal maupun gula darah sehingga menyebabkan penderita mengalami diabetes hipertensi. Korbannya bisa siapa saja, polisi, penjaga pintu tol, penjaja asongan maupun sopir merupakan orang yang berpotensi terkena hipertensi karena timbal ini, sebab mereka sering berada di jalan.

Sedangkan wilayah pesisir merupakan pertemuan daratan dan laut yang rentan pencemaran. ”Karena banyak industri yang membuang limbah di pesisir baik limbah kimia, fisika atau biologi. Dampaknya sudah pasti selain gangguan terhadap kelestarian lingkungan, juga keselamatan dan jaminan kesehatan konsumen tidak ada.

Departemen Kelautan dan Perikanan juga menunjukkan, pencemaran merkuri dan arsen di Teluk Buyat menyebabkan ikan tercemar merkuri. Hasil penelitian kadar merkuri di hati ikan 9,1 mg/g. Merkuri dari tambang terbuang setiap kali proses 14,5%, sedangkan gas sebesar 2,5%. Kadar pada sedimen dan ikan mencapai 0,116-13,87 ppm. Paling berbahaya lagi jika limbah dalam bentuk senyawa organik (metal merkuri) larut dalam air, lemak dan dapat terakumulasi pada biota air termasuk ikan. Metil merkuri berbahaya karena diserap tubuh hingga 95%. Metil merkuri ini bisa tertimbun dalam ginjal, otak, janin, otot, dan hati manusia.

Siti Maemunah dari Koordinator Jaringan Advokasi Tambang mengatakan, hal lain yang perlu disimak adalah pertambangan skala kecil ataupun besar selalu membutuhkan lahan luas serta air dalam jumlah banyak. Karenanya, pemerintah berkewajiban menimbang sebelum izin pengelolaan tambang dilakukan. “Banyak sektor lain yang berpotensi sama dan tak merusak bisa dilakukan. Misalnya, mengolah sektor perikanan dan kelautan,” ujarnya. Jadi cukuplah tambang yang ada pada hari ini, jangan ditambah lagi.

Politis dan Mengundang Tanya
Satu pertanyaan penting ; kepada siapa perusahaan-perusahaan tambang di Pomalaa mendedikasikan keuntungannya? Negara ini? Pomalaa atau perusahaan? Bila untuk negara ini, siapa yang menikmatinya? “Tak sejumputpun keuntungan tanah Mekongga—Pomalaa– tidak kami bagi keuntungannya pada negara ini, termasuk Pomalaa,” kata Dodi Martimbang, Deputy Senior Vice Presiden Human Resources and General Affairs Antam.

PT Aneka Tambang bersandarkan pada aturan kontrak karya, dimana pembayaran pajak dan sebagainya disetor ke kas negara. Bukan kas daerah. Ketimpangan muncul ketika pihak Kolaka merasa wajib mendapatkan hak lebih karena Pomalaa berkontribusi besar dalam peningkatan keuntungan nikel.

“Kenyataannya, kami memperoleh keuntungan lebih banyak dari KP-KP dibanding PT Antam,” kata Bukhari Matta, Bupati Kolaka.

Ketika izin-izin KP dikeluarkan, Bukhari mendapat keuntungan sekaligus protes. Keuntungan berasal dari banyaknya penyerapan tenaga kerja yang tak bisa lolos di PT Antam. “Saya sudah kerja di KP PT Rositadi Mandiri sebagai sekurity sekarang,” kata Azis, pria 4 anak. Ia bukan satu-satunya orang yang gigit jari ketika tahu minus lowongan kerja di PT Antam.

Sedang protes berasal dari kalangan aktivitis yang mempertanyakan izin kelola tambang di wilayah konservasi antara lain Taman Wisata Alam laut (TWAL) Pulau Padamarang (Nikel) seluas 3.300 ha, pulau Lambasina besar seluas 280 ha, pulau Lambasina kecil seluas80 ha, pulau Lemo seluas 30 ha, pulau Kukusan seluas 110 ha dan pulau Buaya seluas 224,5 ha. Lainnya, pengajuan izin untuk kelola tambang nikel di taman wisata alam (TWA) Mangolo (Onix) seluas 200, taman wisata nasional (TN) Rawa Aopa Watumohai (Nikel) di desa Iwoikondo Kecamatan Tirawuta dan Desa Wunggoloko Kecamatan Ladongi seluas 800 ha dan di kawasan pegunungan Mendoke Kecamatan Lambandia seluas 1641 ha.

Protes ini mendapat dukungan dari Menteri Kehutanan MS Kaban pada bulan Agustus 2007. Hasil telaah seperti dilansir Kendari Ekspres menunjukkan seluruh kawasan itu berada pada kawasan hutan konservasi. Intinya tak boleh ada kegiatan tambang di pulau kecil.

Pabbitara

KRISIS, PERUBAHAN IKLIM & TAMBANG

Kedung Ombo tak akan pernah dilupakan orang. Pada tahun 1985, bendungan raksasa di Jawa Tengah ini menenggelamkan 37 desa di 3 kabupaten, serta menggusur lahan dan tempat tinggal 5.268 keluarga

Proyek dukungan dana Bank Dunia dan Bank Exim Jepang ini, awalnya diharapkan memicu pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah. Waduk akan mengairi 63 ribu ha sawah dan Pembangkit Listrik Tenaga Airnya akan berkekuatan 22,5 mega watt.

Setelah Kedung Ombo, ada setengah lusin lebih bendungan skala besar dibangun di Jawa Tengah. Apa kabar waduk-waduk itu?

Kedung Ombo, meleset dari perkiraan. Tahun ini, ia hanya menampung 40% dari 500 juta meter kubik air yang diperkirakan. Hujan buatan sebulan penuh di sepanjang DAS Serang dan Uter, gagal memulihkan fungsi sang waduk.

Proyek dukungan dana Bank Dunia dan Bank Exim Jepang ini, awalnya diharapkan memicu pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah. Waduk akan mengairi 63 ribu ha sawah dan Pembangkit Listrik Tenaga Airnya akan berkekuatan 22,5 mega watt. Setelah Kedung Ombo, ada setengah lusin lebih bendungan skala besar dibangun di Jawa Tengah. Apa kabar waduk-waduk itu? Kedung Ombo, meleset dari perkiraan. Tahun ini, ia hanya menampung 40% dari 500 juta meter kubik air yang diperkirakan. Hujan buatan sebulan penuh di sepanjang DAS Serang dan Uter, gagal memulihkan fungsi sang waduk.

Setelah Kedung Ombo, ada setengah lusin lebih bendungan skala besar dibangun di Jawa Tengah. Apa kabar waduk-waduk itu?

Waduk lainnya, tak berbeda. Gajah Mungkur, hanya 25% air yang mampu disimpannya. Enam waduk lainnya hanya mampu menyimpan air setengah dari yang diperkirakan. Rupanya nasib waduk-waduk itu, berhubungan dengan kondisi kawasan tangkapan airnya, kawasan gunung, pegunungan, perbukitan dan daerah Aliran Sugai di atasnya. Hampir seluruh pegunungan Jawa Tengah, disulap menjadi kawasan perhotelan dan pariwisata. Sebagian lainnya gundul dijarah. Kondisi tersebut memicu kekeringan dan kebakaran saat kemarau datang. Sumber-sumber air, setali tiga uang. Privatisasi menjamur, menguasai sumber air publik. Pemiliknya beragam, mulai Perusahaan Daerah Air Minum, air minum kemasan, wisata pemancingan, agro industri hingga waduk.

Apa akibatnya? Kekeringan dan kelangkaan air. Hingga tahun 2004, kekeringan dan kelangkaan meliputi 7 kabupaten di Jawa Tengah, sisanya menyusul tiga tahun kemudian. Biaya hidup tambah mahal, sejak air menjadi langka dan harus dibeli. Warga terpaksa mengeluarkan Rp 1.000 untuk membeli 20 liter air, atau membuat sumur pantek. Air irigasi pun harus dibeli seharga Rp 30 ribu hingga Rp 50.000. Kedung Ombo menggambarkan pilihan-pilihan pembangunan, mulai dari kawasan atas hingga di bawahnya, yang hanya mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi semata.

Potret itu tak hanya milik Jawa Tengah. Potret yang sama dengan wajah krisis berbeda terjadi di seluruh kepulauan negeri ini. Gagal panen karena serangan belalang di Kalimantan Barat, busung lapar di Nusa Tenggara, ikan hilang karena laut tercemar di Teluk Buyat, Sulawesi Utara, ribuan ha lahan tenggelam dan puluhan ribu pengungsi akibat banjir lumpur panas Lapindo di Jawa Timur, dan tak terhitung lainnya. Itulah hasil pilihan-pilihan pembangunan sepanjang 40 tahun terakhir, dengan titik berat pertumbuhan ekonomi, yang diyakini pemerintah meningkatkan kesejahteran warga negara. Alih-alih kesejahteraan. Keselamatan dan produktivitas wargalah yang terancam. Kemampuan layanan alam pun turun drastis, ditandai banjir, kekeringan dan krisis energi di berbagai tempat.

Kemiskinan di Indonesia terus naik. Di akhir 2006, jumlahnya meningkat dari 15,5 % menjadi 17,5%. Itu belum menggambarkan tingkat kemiskinan sesungguhnya. Dimana jutaan keluarga dinyatakan miskin dan layak menjadi penerima Bantuan Langsung Tunai pengganti subsidi BBM (BLT). Di ibu kota negara saja, lebih dari 200 ribu keluarga menerima BLT, belum lagi propinsi lainnya.

Sayang, potret-potret itu tak membuat pemerintah tergerak, melakukan penyelamatan. Lobby dan pertemuan besar, rajin diadakan di kota-kota besar, guna menggalang investasi dan proyek-proyek eksploitasi skala besar, yang rakus lahan, air dan boros energi.

Proyek-proyek ini akan menyediakan bahan mentah hingga setengah jadi, dari penebangan kayu, perkebunan hingga tambang skala besar, untuk bahan ekspor. Proyek-proyek gigantic ini, memicu perusakan hutan dan degradasi lingkungan. Sumber energi, migas dan batubara, tak luput dijual besar-besaran.

Utang pun tak segan dipakai membiayai proyek¬proyek tersebut. Utang memiliki peran cukup besar. Letter of Intent utang pemerintah dengan IMF salah satunya. Perjanjian ini mewajibkan Indonesia manaikkan pendapatan lewat ekspor dan mengurangi pajak, terutama hasil hutan dan mineral. Hal ini berakibat naiknya eksploitasi sumber daya alam, terutama penebangan kayu, perluasan kebun sawit dan pengerukan bahan tambang. Di kesempatan lain, utang juga digunakan membiayai penyusunan peraturan yang mendorong liberalisasi dan privatisasi sektor publik. Ini akan berimplikasi pada pemotongan subsidi publik, misalnya subsidi energi. Laporan UNICEF memperkuat itu. Menurutnya, berbagai program penyesuaian struktural Bank Dunia dan IMF, bertanggung jawab atas menurunnya tingkat kesehatan, gizi, dan pendidikan puluhan juta anak di dunia ketiga. Di Indonesia, hal itu menyebabkan bertumpuknya utang luar negeri. Tujuh tahun lalu, utang mencapai US $ 150,1 milyar. Dalam 10 tahun terakhir, 25% hasil ekspor Indonesia digunakan untuk bayar utang. Akhirnya, sejumlah 20% hingga 30% biaya APBN, dipakai membayar cicilan dan bunga utang yang mencapai 150 trilyun rupiah per tahun. Belum lagi “biaya-biaya pembangunan” di atas diurus pemerintah, masalah terkait datang. Namanya, perubahan iklim.

Industri Tambang & Perubahan Iklim
Pertambangan berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim, baik tambang migas dan batubara adalah industri yang membongkar simpanan karbon dalam perut bumi, mengolahnya hingga bisa dikonsumsi sebagai bahan bakar dan melepas emisi karbonnya ke atmosfir. Industri tambang adalah media sekaligus pengguna bahan bakar energi fosil. Sekitar 10% energi dunia, dipakai oleh industri pertambangan. Emisi GRK dari industri tambang dimulai dari kegiatan alih fungsi dan degradasi lahan, akibat penggalian bahan tambang dan pembangunan fasilitas pabrik, penggunaan bahan bakar dalam proses penambangan, pembakaran energi saat proses penambangan seperti gas flare.

Sementara dari kegiatan hilir, emisi GRK dimulai dari distribusi hasil tambang dan konsumsinya sebagai energi, baik minyak, gas dan batubara. Penggunaan bahan bakar untuk transportasi dan industri penyumbang emisi GRK tertinggi. Jangan lupa, proyek-proyek pengerukan bahan tambang dan bahan bakar fosil ini juga disponsori oleh badan-badan keuangan dunia melalui skema utang. Utang ini melibatkan badan-badan pembangunan internasional, macam Bank Dunia dan ADB, yang diberikan untuk membiayai proyek-proyek skala besar energi dan tambang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi negara selatan, termasuk Indonesia.

Laporan paling akhir International Financial Corporation (IFC) 2007, menyebutkan Bank Dunia memberi utang sektor swasta lebih dari 645 juta dolar kepada perusahaan minyak dan gas bumi, meningkat 60% dibanding tahun sebelumnya. Komitmen Bank Dunia membiayai perusahaan swasta sektor energi juga meningkat dari 2,8 menjadi 4,4 miliar. Porsi terbesar diberikan untuk migas dan pembangkit listrik, sementara energi terbarukan menempati porsi terkecil.

Inilah ironisnya. Bank Dunia terus membiayai pengerukan hidro karbon, melalui perusahaan tambang batubara dan migas. Di lain pihak mengakui bahayanya perubahan iklim, dimana sebagain besar dipicu oleh emisi GRK akibat penggunaan bahan bakar energi fosil.

Dunia sebenarnya tak pernah serius mengurus resiko perubahan iklim. Negara kaya bahan tambang, Indonesia misalnya, terus meningkatkan produksi batubaranya, khususnya melalui perusahaanperusahaan tambang asing yang mendapatkan kemudahan perijinan, bahkan dengan membuka tambangnya di kawasan hutan. Indonesia meningkatkan devisanya, sejak empat dekade lalu melakukan pengerukan besar-besaran bahan tambangnya, mulai emas, nikel, juga migas dan batubara. Pengerukan ini sebagain besar melayani kebutuhan negara-negara utara.

Tambang batubara di Kalimantan Selatan misalnya, sejumlah 70% dari produksi batubara yang mencapai 100 juta ton per tahun, diekspor melayani 14 negara. Sementara 29 persennya digunakan untuk kebutuhan domestik Jawa dan Sumatera. Hanya 1% yang digunakan untuk dua pembangkit listrik di Kalimantan Selatan.

Kawasan-kawasan keruk di Indonesia, serupa Kalimantan Selatan, mengalami masalah serius perusakan lingkungan, konflik sosial bahkan peningkatan angka kemiskinan. Mereka kehilangan lahan, hingga mengalami gangguan kesehatan akibat lingkungan yang tercemar.

Dan kini, mereka harus berhadapan dengan musim yang tidak menentu, baik untuk menanam padi di sawah atau pun menangkap ikan di laut. Warga¬warga korban sekitar pertambangan inilah, yang akan menjadi salah satu korban paling rentan dampak perubahan iklim. Seperti warga korban pembangunan lainnya.

Disamping itu, akibat eksploitasi dan ekspor besar¬besaran minyak, gas dan batubara sejak 4 dekade lalu, telah memicu krisis energi. Kontrak-kontrak jangka panjang ekspor migas dan batubara, yang dibuat Indonesia dengan negara lain, membuat pengurus negeri tak berkutik, saat kebutuhan energi domestik naik dan harga minyak dunia meroket, berakibat angka APBN defisit.

Pemerintah akhirnya memilih memangkas subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), dengan menaikkan harga minyak hingga dua kali pada dua tahun lalu. Apa akibatnya? Saat itu, terjadi indikasi kuat pemiskinan masif yang terjadi di berbagai pelosok Indonesia. Diantaranya, tutupnya 140 dari 220 Usaha Kecil Menengah (UKM) di Majalaya, Jawa Barat, juga pabrik-pabrik keramik di Gresik yang merumahkan karyawannya, hingga 77 perusahaan tekstil dan produk tekstil berhenti operasi di Jawa Bali mengakibatkan 20.000 orang kehilangan pekerjaan. Seperti uraian sebelumnya, kelompok-kelompok miskin, korban pembangunan inilah, yang rentan terhadap perubahan iklim.
Sumber : Disadur dari lembar Informasi Jaringan Tambang Indonesia 24 nov 2007

13 Responses

  1. Hallo Kak Kokoh/Indah Apa kabar? senang akhirnya informasi kegiatan teman-teman disharing via situs blog, oh ya saya juga ngelola situs berita lingkungan http://www.greenpressnetwork.com dan blog Greenpress http://www.greenpressnetwork.wordpress.com. titip Salam buat teman-teman di Kendari.

    Salam

    Marwan Azis
    http://www.marwanoke.blogspot.com
    http://www.marwanazis.wordpress.com

  2. Hallo Marwan! Terimakasih telah berkunjung ke Weblog kami. Isu lingkungan di Sultra terbaru akan selalu diupdate di situs ini. Bulan ini Krisis Energi jadi isu utama. Listrik mati sudah 2 hari sekali di Kendari (padi dan malam hari). Saatnya kita mendorong pemrintah daerah untuk segera memikirkan sumber energi terbarukan dan tak bergantung ke PLN yang mesin dieselnya dah pada tua.

    Kami juga sedang bikin lomba menulis surat buat anak-anak yang ditujukan ke gubernur kita, sekalian memperingati hari bumi. Sampai sejauh ini sudah ada 80 lebih surat masuk dan sebagian bersar mengeluhkan pemadaman listrik, “Pak Gubernur, mamaku sering marah-marah karena tak bisa menyelesaikan setrikaan, dan aku tak bisa kosentrasi belajar karena lampu mati..” seperti isi surat salah saru peserta lomba ini.

    Salam,

    Kokoh

  3. Busyet bisa abis tuh bukit-bukit di Kabena, Talaga, Pomalaa diambilin nikelnya untuk dikirim ke china semua,
    apa gak ada investor Listrik tenaga Batu Bara seperti di Desa Punagaya , Jeneponto supaya Sulawesi Tenggara gak kesulitan listrik, oh ya apa bener sudah ada upaya eksplorasi minyak di Pasar Wajo (mudah-mudahan Menara Airnya tetap terjaga supaya gue bisa berenang di air yang sejuk dan bening di sungai deket pantai Bana bungi lagi) Salam aja buat rekan di Kendari
    Thanks for the beautiful beach and great culture (Nirwana Beach, Kamali Beach, Keraton etc)

  4. Bulan ini Mei akan mengangkat isu tentang ketahanan pangan dan solid daerah aliran sungai. Puluhan petani di Abuki, Kabupaten Konawe tak paham mengapa masa panen mereka berkurang dari tahun ke tahun, debit air di waduk maupun irigasi menurun dan tiap petani menunggu giliran untuk menanam. Mereka tak tahu Daerah Aliran Sungai tak lagi berfungsi maksimal, hutan gundul menyebabkan sedimentasi dan delta di sepanjang daerah aliran sungai. Debit air menurun di daerah aliran sungai itu dan akhirnya berdampak pada daerah persawahan tersebut. Apakah Pemerintah bisa mengambil langkah cepat dan efektif untuk menangani hal ini? Bagaimana menjamin ketahanan pangan di Sultra 5-20 tahun mendatang?

  5. Jangan hanya bersimpati, mari bergabung dalam kelas Daerah aliran sungai yang akan diselenggarakan di Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sampara pada tanggal 8-10 Mei, anda akan mendapatkan teori, kenyataan di lapangan dan seabrek fakta dan informasi tentang kondisi sungai-sungai kita. Semakin banyak tahu, dengan sendirinya membuat Anda bisa menjadi tim kampanye untuk menyelematkan daerah aliran sungai kita. Pasca kelas DAS , tim akan turun ke lapangan dan melihat lansung dampak atas wilayah-wilayah yang mengalami penurunan debit air. Informasi lanjut ; hubungi Elmita 0401-322962

  6. weblog yang menarik. mungkin galeri foto diupdate terus biar pengunjung bisa menikmati keindahan virgin nature nya sulawesi tenggara. kalau bisa, news event bisa diberitahukan apa agenda akan datang, spt event bln ini sdh ada pemberitahuan lewat komentar. tapi baiknya ada kolom khusus di front page, biar dengan gampang bisa di akses. btw, kapan bisa bilingual?

  7. Menurutku tampilannya sudah lumayan ok dan akan lebih ok lagi bila bisa bilingual, so teman2 kita di luar Bumi sana juga bisa mengakses informasi Sultra begitu.
    Sukses selalu untuk Tim Kecil WWF Kendari. Let’s save the only one earth we have kodonk!

  8. Long Live The WWF Kendari Team

  9. coba angkat tulisan jangan dilihat dari sisi lingkungan saja , karna kalo bicara soal pembangunan pasti ada resiko dari pembangunan tsb,begitupun kalo bicara soal berdagang pasti ada resiko jadi seorang pedagang (rugi dan untungnya) ,nah saya sebagai warga masyarakat pomalaa,juga selaku Ketua Karang Taruna Kecamatan Pomalaa mengajak saudara2 dalam membuat tulisan2 terhadap apa yg terjadi di pomalaa,pikirkan juga dampak positifnya ,terhadap pembangunan yg sudah terjadi disini , OK

  10. Barang Siara Yang berminat membeli batu bara kami dengan Kami menawarkan Batu Bara Dengan kalori 6300 – 6100 dengan harga $111 MT, 5800 – 5500 dengan harga $90 MT, 5300 – 5100 dengan harga $73 bisa nego kalau pesn banyak kami bisa menyediaan lebih dari 40000 MT per Bulan. Harga berlaku sampai tanggal 12 September 2008 atau setelah lebaran lebih 2 minggu. Kalau Berminat Hub. 0271-7558982 Dengan Bp. Doel. Kami juga menyediakan batu Mangan. Kami pembayarannya dengan cara Pembayaran dimuka 50%, Dokumen Jadi 40%, dan Batu Bara masuk Kekapal 1 %. Kami Juga melayani FOB Tongkang. Tolong Hub. 0271-7558982.

  11. Pak Chairul, tanggal 19-20 ini kami akan trip ke Kolaka, apakah ada waktu untuk bertemu di Kolaka?

    Indar

  12. BUAT INDAR , SAYA TUNGGU DI KOLAKA , TELPON AJA DI NO 085275249089

  13. Pak Chairul, Tampaknya tak bisa bertemu, bila ada waktu ke kendari, mungkin bisa skalian jalan-jalan ke kantor kami di malik 2 no 15 A Kendari, atau menghubungi saya di nomer kantor 0401-322962, mungkin tim kami bisa banyak diskusi nantinya.

Leave a reply to indarwati aminuddin Cancel reply