Iklan Layanan Masyarakat Radio Swara Alam, 2009-01

Waktu Penayangan : Minggu IV, 26 Februari 2009
Tema / Angle : Jalur Alternatif Laonti Solusi Dari Solusi
Durasi : 1 menit, 28 detik

Rubrik Wonua, 2009-02-21

wonua-kendari-pos-20090221

Jejak

Save our Tanjung Peropa, untuk Masa depan kami

Oleh; Abdul Saban
Jalan itu terjal dan berbatu. Menukik punggung-punggung bukit, lalu turun ke lembah curam yang terhampar pecahan batu cadas nan tajam. Baru melewati dua buah jembatan saja, rasa pegal di sekujur tubuh, sudah tak mampu ditahan.

Inilah potret jalan rintisan Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan (Pemkab Konsel), yang menghubungkan desa Lapuko, kecamatan Moramo dengan desa Tambolosu, kecamatan Laonti. Jalan yang dibangun sejak tahun 2006 lalu itu, selebar lima meter. Rencananya, jalan itu akan menghubungkan kecamatan Moramo dengan kecamatan Laonti, Konsel. Medannya berat, sekitar 17 kilometer jalan itu melewati Hutan Lindung Tambolosu.

Dari hutan lindung tambolosu, jalan itu kemudian dilanjutkan lagi ke arah timur, membelah kawasan Suaka Marga Satwa Tanjung Peropa, sepanjang 31 kilometer.

Pada dasarnya, jalan darat untuk warga Laonti, memang menjadi kebutuhan warga, setelah 45 tahun hidup dalam keterisolasian. Rasa keterasingan dari dunia luar, menjadi dorongan kuat dari warga untuk mendapatkan keadilan pembangunan yang belum meraka rasakan. Dorongan ini, kemudian diamini oleh Pemkab Konsel, dan realisasinya tahun 2006 lalu.

Tak ada pemberian berharga bagi warga Laonti, selain jalan darat. Walau rintisan, namun pembangunan jalan itu, sempat membuat warga Laonti bahagia. Pendaman harapan hampir setengah abad itu, nyaris terwujud. Sayang, pembangunannya harus terhenti, karena sengketa kawasan. “jalan itu, membelah kawasan konservasi,” kata, Ibrahim, Kepala Desa Peo Indah. “jika dilanjutkan, anak cucu kami yang bermukim di pinggir kawasan itu, akan kekurangan sumber air,” sambung Istadjar, tokoh masyarakat Laonti.

Pria tua ini sangat paham dengan siklus alam. “Jika dengan jalan itu, kami harus mengorbankan sumber kehidupan tujuh generasi ke depan, mending, selamanya kami lewat jalur laut,” tegasnya.

Dari polemik ini, Syafril Kasiem, SP,M.Hut, dosen Ilmu Management Kehutanan, Fakultas Pertanian-Unhalu, menyimpulkan bahwa, sengketa jalan untuk warga Laonti bukannya tak bisa terselesaikan. Dia menilai, masing-masing pihak bertahan dengan kepentingannya. Ini mencerminkan, perencanaan pembangunan derah itu tidak memadai.

Menurut dia, andai sejak awal, Pemkab Konsel mau berkoodinasi dengan pihak pengelola kawasan (BKSDA Sultra), tentu prosesnya akan lebih mudah. “ini memperkuat dugaan saya, kalau pihak Pemkab Konsel tak paham dengan pembangunan yang berkelanjutan,” kata Syafril.

Akibatnya warga kini terkatung-katung dalam harapannya sendiri, untuk memiliki jalan darat itu. Sebab, tak ada aturan yang membolehkan pembangunan infrastruktur dalam kawasan konservasi. “kecuali hutan lindung dan hutan produksi, itupun harus izin menteri Kehutanan” terang, Safril.

Proses itu tak semudah membalik telapak tangan, tapi harus melalui kajian ilmiah yang melibatkan pihak Dirjen Pengelola Hutan Konservasi Alam (PHKA), Badan Planogi, Dinas Kehutan dan tim Independent lainnya. Setelah itu, barulah di kaji oleh DPR RI.

“Nah, jika ini tetap dipaksakan, maka, sama saja, Pemkab Konsel memelihara harapan warga, yang tak akan pernah direalisasikan,” katanya. Dia menyarankan, agar kedua belah pihak, (Pemkab Konsel dan BKSDA Sultra) duduk bersama, mencarikan solusi untuk warga Laonti. “jalan itu harus ada, demi keadilan pembangunan,” harapnya.

.

Dari Kami

Kami telah membuat beberapa tahap kemajuan dari kampanye atas kawasan konservasi Tanjung Peropa ini.   Pertama : semua pihak berpatisipasi, terutama yang memiliki kewenangan pengamanan Tanjung Peropa ini. Kedua : Ada niat baik untuk membumikan konservasi dan ketiga : ada peluang untuk mensinergikan tata ruang dengan kawasan konservasi yang membujur di wilayah dimaksud.

Tiga hal tersebut tak hanya merefleksikan adanya partisipasi dari semua pihak tapi juga menggambarkan adanya keinginan bersama mewujudkan rencana bersama yang positif. Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan melalui Ketua DPRD, H Surunuddin, mengatakan bahwa semua pembangunan yang dilakukan pada dasarnya memiliki satu tujuan : mensejahterakan warga. Pembangunan yang baik tak hanya memiliki itikad baik, tapi juga perencanaan dan kajian mendalam pada semua aspek.

Ia mengatakan, ada pembelajaran yang  baik sekali dari Konawe Selatan selama ini. Antara lain; tata ruang yang tengah dalam kajian ternyata membutuhkan kontribusi pemikiran dari para praktisi konservasi dan pihak berwenang yang memiliki otorita pengamanan konservasi. Lainnya : Aturan-aturan legal yang terimplementasi atau akan terimplementasi sebaiknya mendapat dukungan dari semua pihak. Ia merujuk pada kawasan konservasi Tanjung Peropa dan Taman Nasional Rawa Aopa yang bentang kawasannya sebagian besar masuk di Konawe Selatan.

Artinya : Pemerintah daerah memiliki amunisi untuk membantu pengamanan kawasan konservasi sepanjang pihak yang berwenang melakukan pengamanan bersedia untuk duduk bersama dan mendiskusikan batas-batas mana yang perlu diketahui bersama untuk TIDAK DIGANGGU. Tahapan diskusi ini secara otomatis akan menjadi bagian dari penyusunan tata ruang.

Menurutnya, semua pihak di Konawe Selatan tak bisa berjalan sendiri-sendiri dan memunculkan egosektoral. Kami sepakat pada pemikiran ini, bukankah membangun bersama akan lebih baik ?
SALAM EDOTOR

.

Morini

Susahnya hidup terisolasi

Secara umum, kecamatan Laonti berada di diantara 25-100 meter di atas permukaan laut. Suhunya berkisar pada 25-35 derajat Celsius. Namun, jika musim hujan, suhunya bisa turun sampai 22 derajat Celsius. Menurut Adi Setiadi, kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Maritim, Sultra, suhu seperti ini, topografi dan keadaan cuaca seperti ini sangat baik untuk pertanian dan perkebuanan jangka panjang.

Data pemerintah kecamatan itu, tahun 2007 mencatat, untuk tanaman jangka panjang, wilayah ini mampu menghasilkan 306.750 kilogram per tahun, kakao 31.250 kilogram per tahun, serta kelapa, 95.400 kilogram per tahun. Sedangkan, tanaman jangka pendek, bumi Laonti mampu menghasilkan komoditi Ubi Kayu, 91.200 kilogram per tahun, padi Gogo, 88.000 kilogram per tahun.

Sayangnya, potensi itu justru terkurung oleh geogarafi. Mobilitas fisik sangat terbatas, kaculai jalur laut. Namun, saat musim timur, tetap sama saja, penduduk tak bisa keluar daerah, badai di selat Wawonii serta Laut Banda yang melintasi daerah ini, tak kenal ampun.

Jika cuaca sudah seperti ini, kebutuhan apapun yang ada sangkut pautnya dengan luar daerah, terpaksa di tahan, “ada sebahagian yang berani masuk kendari, menggunakan katinting, menipir di Teluk Staring, lewat belakang Bungku Toko timur, lalu masuk teluk Kendari,” kata Adam Sakoya, tokoh Pemuda Laonti. “Untuk sampai kendari butuh waktu 12 jam,” sambung, Istadjar, tokoh masyarakat Laonti.

Nasib warga Tue-tue jauh lebih tragis lagi. Sutrawati, perempuan parobaya dari desa Tue-tue, mengisahkan, saat musim teduh, bahan kebutuhan pokok warga dipasok dari desa-desa tentagganya, Sangi-sangi dan Ulusawa, melalui perahu. Begitu musim timur datang, mereka harus melewati bukit berbatu nan terjal untuk sampai ke desa tetangganya itu. Hempasan badai dan gelombang laut, memaksa mereka memilih jalur itu.

Dia mengisahkan penderitaan hidup di daerah itu, ketika ada warga yang tiba-tiba sakit dan harus mendapatkan perawatan medis yang optimal. “ Peralatan dan obat-obatan yang dimiliki Pos Kesehatan kami belum memadai. Jika musim timur kebetulan ada warga yang harus mendapat perawatan medis terpaksa pasien itu harus ditandu ke desa Sangi-sangi, hingga sampai ke Puskesmas Laonti di Ulusawa,” kenangnya.

Sutrawati mewakili potret kehidupan perempuan di daerah terpencil akibat ketidakadilan pembangunan. Dalam keadaan seperti ini, sudah tentu biaya hidup akan sangat tinggi, kebuntuan informasi menjadi satu-satunya penghalang mobilitas fisik ke daerah-daerah luar.

Satu tekad muncul dari jiwa warga Laonti, jalan darat itu harus ada. “Jika jalan rintisan Pemda itu tak bisa diteruskan. Pemerintah harus mencarikan solusinya,” kata, Saqibe, sekretaris desa Tue-tue, kecamatan Laonti. “Kami sudah bosan menunggu, banyak hasil bumi kami yang mubazir tak bisa dijual ke daerah lain” sambungnya.

.

Fokus

Jalan Melipir, Solusi dari Solusi

Sejak era Rasak Porozi, bupati Kendari, jatah  jalan darat untuk warga Laonti, sudah di anggarkan. Saat itu, Laonti masih masuk dalam wilayah administerasi kabupaten itu. lalu, setelah mekar menjadi Konawe Selatan, niat itu dilanjutkan lagi. Tahun 2006 lalu, jalan itu mulai dirintis oleh pemkab Konsel. Sayang, lokasinya tak tepat sasaran, membelah kawasan konservasi.

Sadar akan peluang memiliki jalan terkendala prosedur, warga Laonti menempuh banyak cara, mulai dari curhat dengan pimpinan daerah itu, sampai demonstrasi besar-besaran di kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra, sebagai pengelola kawasan itu. Hasilnya, BKSDA tetap bertahan pada aturan konservasi yang ada. “Jalan itu tak bisa dilanjutkan,” kata Ir. Kurung, MM, kepala BKSDA Sultra, saat itu.

Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia, oleh tim Auditorat Utama Keuangan Negara VI, perwakilan BPK-RI di kendari, menemukan, pembangunan jalan itu, menggunakan anggaran sebesar 4,4 milyar rupiah dari APBD semester II tahun 2006 – 2007, nilai yang sangat mahal, untuk daerah yang baru memekarkan diri.

Jalan untuk warga Laonti tetap ada, asal tak membelah kawasan Tanjung Peropa. “Jika itu bisa dilakukan, maka kami akan membantu sepenuhnya untuk pengusahaan pembangunan jalan itu,” lanjut kurung saat menerima massa Laonti di kantornya. Langkah terakhir, warga bersepakat untuk meminta kepada Pemkab Konsel, agar bila jalan rintisan yang membelah kawasan itu, dialihkan kearah yang melipir kawasan Tanjung Peropa.

Berdasarkan hasil survey tim GIS dari Mahacala Unhalu BKSDA Sultra, serta dinas Pekerjaan Umum (PU) Konsel, menyimpulkan, jalan melipir itu layak untuk dibangun. Karena medannya agak landai, banyak perkebunan dan tambak milik warga yang berada di kaki-kaki bukit, lintas punggungan bukit dengan medan karst berbatu, banyak tumbuh tanaman sejenis lily yang berbunga putih. Jalur itu dimulai dari daerah Sukapuri, Wonua Ika, Noko, Rambu-rambu, Lahundeo, Onewila, dan Matandahi, hingga akhirnya masuk desa Laonti.

Menurut Syafril, jika Pemkab Konsel tetap bertahan dengan kebijakannya, melanjutkan jalan rintisan yang membelah kawasan Tanjung Peopa, maka aksesibilitas pemanfaatan hasil hutan kayu dari kawasan itu semakin terbuka lebar. Secara perlahan, muncul spot-spto pemukiman di sepanjang jalan, sebab, pemukiman asyarakat, selalu mengikuti arah pembangunan jalan. Otomatis, eksistensi kawasan akan terganggu. “Siapa yang bisa menjamin, bahwa tak akan ada pemukiman disepanjang jalur, yang masuk dalam kawasan konservasi,” tukas Safril. “ Membuka kawasan saja, itu sudah mengganggu stabilitas kawasan ekosistem, apalagi membangun infrastruktur di dalamnya,” lanjutnya.

Menurut Safril, jalan rintisan Pemkab Konsel membelah kawasan Tanjung Peropa itu adalah salah satu sikap yang mencerminkan arogansi kekuasaan, ketidak fahaman terhadap prisnsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Selain itu, ini adalah cerminan over tafsir, yang menafsirkan otonomi daerah yang tak ada batasannya, sampai-sampai melanggar Undang-undang yang ada di atasnya . Sebab, ketika sebuah kawasan ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam, maka kewenangan untuk melakukan intervensi kebijakan, harus izin menteri kehutanan. Perubahan status kawasan sangat tak mudah dilakukan.

Dalam UU 41, 1999, penurunan status kawasan tidak sampai menimbulkan perubahan fungsi atau gangguan ekosistem kawasan hutan itu sendiri. Untuk  itu, perlu penelitian mendalam dan terpadu. Jadi, secara kewenangan, pemerintah Kabupaten/kota maupun pemerintah Propinsi, tak punya kewenangan apapun, untuk mengintervensi pengelolaan kawasan konservasi itu.

Kini, tinggal menunggu sikap pemerintah kabupaten Konawe Selatan. Jika jalur alternatif ini mereka sepakati. Maka, tentu saja, jalan darat buat warga Laonti, akan terbentang lebar. Dan… sebaliknya, jika Pemkab Konsel tetap bertahan pada jalur rintisan itu maka praktis, selamanya tak akan ada akses jalan darat buat warga kecamatan itu.

Bukan Melarang, tapi Melindungi

Tanjung Peropa disahkan penetapannya oleh menteri Kehutanan tanggal 9 Februari 1986. Pemerintah saat itu tak asal tunjuk saja. Menurut Safril Kasiem, SP,M.Hut, Ketua Jurusan Ilmu Management Kehutanan, Fakultas Pertanian-Unhalu, Tanjung peropa ditunjuk sebagai konservasi karena ciri khasnya endemik dan vegetasi hutannya. “Ia bukan hanya dilindungi, namun melindungi dirinya sendiri, kata Safril.

Potensi yang dimilki kawasan konservasi Tanjung Peropa, bukan hanya sebagai daerah perlindungan satwa dan tumbuhan endemik langka. Potensi itu, ibarat deposito sumber kehidupan, yang dapat dirasakan oleh generasi saat ini, sampai regenerasai yang akan datang. Jika deposito itu tak dilestarikan dengan baik, maka jaminan sumber kehidupan untuk generasi masa depan akan habis saat ini.

Secara logika, sumber air yang melimpah sampai ke kamar mandi dan sawah milik warga saat ini, tak akan mengalir begitu saja. Pasokan sumber air itu tergantung pada besarnya debit air pada sungai atau mata air, yang dipengaruhi oleh kondisi hutan di sekitarnya.  Dari hasil pengamatan, kondisi bagian hutan sekitar mata air tersebut sampai saat ini relatif masih baik, karenanya fungsi hidrologisnya masih terjaga. Sebaliknya apabila kondisi hutan mulai banyak terbuka akan mempengaruhi debit air yang juga akan berkurang, karena sebagaimana kita ketahui bahwa hutan berfungsi menyimpan cadangan air.

Pada tahun 2007, lalu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra mencatat, nilai pemanfaatan masyarakat terhadap sumber air yang berasal dari Kawasan Tanjung Peropa senilai Rp 1.145.760.000.000 (satu triliun seratus empat puluh lima milyar tujuh ratus enam puluh juta rupiah) tiap tahunnya. Hitung-hitungan itu, berdasarkan patokan harga PDAM Kendari (Rp. 28.000/m3 di kalikan dengan 2000 pemilik rumahtangga di kecamatan Laonti).

Selain kecamatan Laonti, kecamatan Moramo dan Kolono pun tak bisa mankir sebagai pemanfaat besar jasa di kawasan Tanjung Peropa. Contoh, pemanfaatan air masyarakat Desa Sumbersari dan Ulusena, kecamatan Moramo.

Kedua desa itu memanfaatkan air dari dua sumber. Yakni, mata air Sumbersari dan Batu Telur.  Aliran air dari dua mata air ini akhirnya bertemu menjadi satu aliran yaitu Kali Osena. Berdasarkan hasil pengukuran BKSDA Sultra tahun 2007, terhadap debit air pada dua sumber mata air itu, menyimpulkan bahwa Debit air di mata air Sumbersari sebesar 1,0821533 meterkubik per detik. Sedangkan mata air Batu Telur sebesar 0,0351955 meterkubik perdetik, serta kali Osena sebesar 1,4762467 meterkubik perdetik.

Masyarakat dari Desa Ulusena dan Sumbersari, memanfaatkan jasa air dari SM Tanjung Peropa ini sebagai pengairan sawah. Sekitar 142 ha sawah penduduk Desa Sumbersari menggantungkan pengairannya dari Kali Osena.    Selain untuk pertanian juga ada pemanfaatan air untuk kolam ikan seluas 60 m x 15 m dan 6 m x 18 m.  Sedangkan untuk kebutuhan domestik (rumah tangga) masyarakat Desa Sumbersari mengambil dari sumur-sumur yang dibuat.

“Mereka bisa mengambil manfaat jangka panjang  bila kawasan ini dirawat baik,”kata Mila Rabiati, S.Hut, Koordinator Pengendali Ekosistem BKSDA Sultra. Jika warga menikmati semua itu secara gratis, bagaimana jika kelak eksistensi Tanjung Peropa sudah tak ada samasekali? Berapa besar jumlah subsidi pemerintah kepada warga Laonti untuk mengganti jasa Tanjung Peropa? Silahkan pikir sendiri. Jelasnya, nilai satu jasa lingkungan Tanjung Peropa, tak akan pernah bisa dibayar oleh pemerintah.

Yang unik di Tanjung Peropa adalah view kawasan hutannya dikitari pesisir. Sangat tinggi nilai jualnya, karena perpaduan antara wisata pantai dengan vegetasi hutan alam seperti ini, akan menarik minat wisatawan. “Contoh wakatobi, saat ini bukan hanya wistawan lokal yang berkunjung di sana, wisatawan mancanegarapun, turut berkunjung ke sana. Padahal, andalan Wakatobi, hanya panorama bawah lautnya saja.

Jalan alternatif, akan sangat bernilai jika kasawan Tanjung Peropa dikembangkan sebagai icon ekowisata. Selain itu, masih ada peluang untuk meminimalisir kasus perambahan kawasan. Sebab, dengan adanya jalan, jalur mobilitas patroli akan semakin intens.

Jika pemerintah Konawe Selatan berani mengembangkan potensi ini sebagai icon ekowisata daeranya, maka eksistensi Tanjung Peropa akan tetap terjaga. Karena pendapatan masyarakat akan meningkat secara mandiri, dan akhirnya masyarakat akan bersama-sama menjaga kawasan itu.

Berdasarkan amanat Undang-undang 41 tahun 1999, tentang kehutanan, pilar konservasi saat ini, tak hanya didasarakan pada pelestarian kawasan saja, tetapi harus berdasarkan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan itu sendiri, “tentu arah pembangunan kawasan ke depan akan seperti itu,” katanya.

Tanjung Peropa, ditetapkan sebagai cagar alam, karena kekhasannya perlu dilindungi dan melindungi dirinya. Fungsi vegetasi hutannya sebagai pengatur tata air, sangat riskan jika kawasan itu terganggu. Dalam ilmu hidrologi, ketika air hujan jatuh ke permukaan bumi, sebagian terintersepsi oleh permukaan tajuk tanaman, setelah itu ditarik oleh akar pohon (infiltrasi), kemudian menjadi perkolasi dan mengalir di bawah tanah, itulah yang menjadi penyimpan air tanah (green water) yang sangat bagus.

Nah, kondisi vegetasi hutan di Tanjung Peropa yang masih bagus ini, akan menjadi penyimpan air tanah yang sangat bagus, dan cadangan air tanah yang besar itu dapat menjamin sumber air untuk spot-spot pemukiman hingga tujuh gengerasi ke depan.

Jasa lingkungan itu belum terghitung dengan nilai manfaatnya sebagai gudang plasma nulfa, khususnya bagi flora dan fauna endemic Sulawesi Tenggara.
Belum lagi keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Ini hanya beberapa nilai penting cagar alam tanjung peropa.

.

Pabbitara

Membumikan Kesadaran Konservasi

Mila Rabiati, S.hut (mrabiati@yahoo.co.id)
Koordinator Pengendali Ekosistem Hutan
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BSKDA) Sulawesi Tenggara.

Secara umum, kesadaran dunia tentang konservasi terus membumi. Namun sebaliknya di bumi Anoa, malah tekanan terhadap kawasan konservasi makin meningkat seiring dengan   pemekaran wilayah kabupaten.  Sementara  itu, institusi pengelola kawasan konservasi dituntut untuk berbuat “maksimal dalam keterbatasan” dukungan dan dana dalam menghadapi berbagai tekanan  dan tantangan pengelolaan kawasan itu.

Saat ini, tantangan terbesar dalam pengelolaan kawasan konservasi  justru  datang  dari pemerintah daerah sendiri. Konon, Pemerintah Daerah (pemda) beserta jajarannya sedang “berjuang” untuk menurunkan status kawasan konservasi.  Hutan konservasi  (daratan) seluas 274.069 hektar dianggap  masih terlalu luas, padahal  luasan tersebut hanya sekitar 10% dari luas hutan (daratan) di Sulawesi Tenggara seluas 2.600.137 hektar yang terdiri dari hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola oleh pemda.

Bagi pemda, Mempertahankan keberadaan kawasan konservasi  dianggap tak memberi manfaat ekonomi bagi pembangunan daerah. Selain itu, kawasan perlindungan ini, masih tersekesan “penghambat” pembangunan  di luar sektor kehutanan. Sebab, hampir tak ada akses untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada di dalamnya.

Kesan ini, tak seperti kawasan hutan produksi dan lindung. Kayu dari kawasan itu, dapat dimanfaatkan, bahkan bisa dipinjampakai untuk kepentingan pertambangan ataupun kepentingan lain di luar kepentingan pembangunan kehutanan sendiri.

Kenapa kita tak pernah belajar dari pengalaman yang ada? Pola-pola pengelolaan sumber daya alam secara  ekstraktif dan eksploitatif yang telah terbukti di banyak wilayah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan, namun  masih saja jadi pilihan bagi pemerintah untuk mengeruk Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Fungsi kawasan konservasi sebagai wilayah perlindungan system penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dicibir sebagai “teori” belaka. Anggapan ini bukan hal yang berlebihan karena harus diakui bahwa data-data hasil pengkajian dan penelitian tentang kawasan konservasi sendiri masih sangat terbatas.

Namun jika keberadaan kawasan konservasi dianggap tak memberi kontribusi ekonomi bagi masyarakat, anggapan itu tak bisa dibenarkan juga.

Lalu manfaat ekonomi apa yang secara langsung bisa dirasakan oleh masyarakat ? pertanyaan ini sering dilontarkan oleh berbagai pihak termasuk oleh pemerintah daerah sendiri. Apalagi bila ternyata di dalam hutan konservasi terdapat sumber daya alam lainnya seperti  potensi tambang  atau potensi kayu komersil yang konon “harus” dimanfaatkan (dieksploitasi) demi percepatan pembangunan ekonomi daerah.

Sebagai daerah perlindungan system penyangga kehidupan salah satu fungsi yang diemban kawasan adalah fungsi hidroologi yaitu  mengatur tata air. Hutan sering disebut memiliki efek spons, yaitu kemampuan meredam tingginya debit sungai  pada saat musim  hujan dan memelihara kestabilan aliran air pada musim kemarau. Kondisi hutan yang baik akan menjamin ketersediaan air bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Kawasan konservasi seperti halnya SM Tanjung Peropa yang kondisinya relative masih baik, menjamin suplai pasokan air bersih dalam jumlah dan kualitas yang cukup bahkan melimpah dan “gratis” pula bagi masyarakat yang tinggal di desa-desa sekitar kawasan. Terkadang sesuatu yang melimpah dan gratis tidak disadari nilai ekonominya dan dianggap tidak ada harganya.  Padahal baru satu fungsi saja sebagai “bank air” hutan sudah bisa dihitung nilai ekonominya, belum fungsi-fungsi ekologi lainnya seperti  sumber plasma nutfah bagi ketahanan pangan, pengendali hama penyakit, pemasok udara bersih dan lain-lain yang tentunya bisa dihitung juga nilai ekonominya.

Tapi apakah sebelum menyerahkan hutan ke pengusaha untuk di kelola (dieksploitasi) pemerintah daerah sudah pernah menghitung atau membandingkan  nilai ekonomi tersebut  untuk jangka panjang? Sementara kita tahu bahwa pengelolaan sumber daya alam yang bersifat ekstraktif dan eksploitasi hanya untuk jangka pendek dan menengah saja, selebihnya sudah banyak contoh yang kita lihat hanya meninggalkan dampak kerusakan terhadap lingkungan yang jika dihitung nilai kerugian dan biaya untuk merehabilitasinya jauh lebih besar.

Manfaat yang paling vital yang dirasakan langsung oleh masyarakat serta mudah dihitung secara ekonomi  adalah air. Sudah banyak hasil penelitian tentang nilai ekonomi air yang dilakukan di daerah lain yang bisa dijadikan rujukan, atau apabila kita tidak mempercayai hasilnya silahkan pemerintah daerah menunjuk institusi akademis di wilayah ini untuk  menghitung nilai ekonomi air yang berasal dari wilayah-wilayah konservasi di Sulawesi Tenggara.

Hasil penelitian di Taman Nasional Gunung Gede, Tanggerang, Jawa Barat, tentang kebutuhan air masyarakat didaerah itu adalah: untuk keperluan air minum, memasak, mandi, mencuci, tiap rumah tangga adalah 204,6 meterkubit pertahun. Sedangkan, untuk sawah diperlukan sekitar 125.000 meterkubik per hektar tiap musim. Sedangkan untuk kebutuhan kebun sekitar 387,94 meterkubik pertahun.

Dengan memakai  harga patokan PDAM Kendari adalah Rp. 28.000 per meterkubik,  untuk keperluan air rumah tangga saja  per rumah tangga rata-rata harus membayar sebesar Rp. 5.728.800 tiap tahun, hasil hitungan dari 204,6 m3 x Rp. 28.000. Angka itu baru untuk satu rumah tangga saja. Di Sulawesi Tenggara sendiri ada berapa rumah tangga di sekitar kawasan konservasi yang kebutuhan air domestiknya dipasok langsung dari sumber-sumber air dari dalam kawasan tanpa harus berlangganan PDAM.

Bahkan PDAM sendiri sumber airnya di hulu berasal dari dalam kawasan konservasi (PDAM Kota Bau-Bau dan Kab. Buton dari TWA Tirta Rimba atau PDAM Kendari yang sebagian berasal TNRAW) dan di pihak lain  pengelola tidak memberikan kontribusi apa-apa terhadap kelestarian kawasan.
Setiap hektar sawah memerlukan air sebesar  ± 125.000 m3/ha/musim  atau sekitar Rp. 3.500.000.000,- (tiga setengah milyar)  per ha/musim. Untuk perkebunan kebutuhan bervariasi tergantung jenis tanaman, ada yang 274.289 m3/ha/tahun bahkan ada yang sampai 387,94 m3/ha/tahun.

Terkait dengan masalah jalan Lapuko-Laonti yang membelah kawasan SM Tanjung Peropa,  BKSDA Sultra mendukung sepenuhnya upaya untuk  “ jalan alternative” dengan perbandingan alasan-alasan sebagai berikut :

Sesungguhnya pemerintah menetapkan kawasan konservasi untuk dipertahankan adalah untuk semata-mata memberikan manfaat “hutan” itu sendiri bagi masyarakat.

wonua-kendari-pos-20090221-tabel1

Iklan Layanan Masyarakat M Radio, 2009-01

Waktu Penayangan : Minggu II, 9 Februari 2009
Tema / Angle :  Jalan Darat & Lahan Konservasi
Durasi : 1 menit, 57 detik

Peta Jalur Alternatif Melalui Suaka Margasatwa Tanjung Peropa

jalur-alternatif-verifikasi

citra-jalur-alternatif

topografi-jalur-alternatif

detail-topografi-1

detail-topografi-2

ID Peta : Peta Jalur Alternatif Melalui Suaka Margasatwa Tanjung Peropa (Paket)
Skala : –
Tahun : 2008 – 2009
Sumber Data : Peta Rupa Bumi Bakosurtanal 1992, Citra Satelit 7tm. November 2008 & Survey GPS Garmin GPSmap 76 CSX
Kontak : Komunitas Teras, telp : 0811402184, e-mail : satuteras@yahoo.co.id

Iklan Layanan Masyarakat Kendari Tv, 2009-02-13

Waktu Penayangan : Minggu II, 13 Februari 2009
Tema / Angle : Membelah Kawasan Konservasi Melanggar Hukum
Durasi : 0 menit, 42 detik

Iklan Layanan Masyarakat Radio Swara Alam, 2008-12

Waktu Penayangan : Minggu I, 05 Februari 2009
Tema / Angle : Tanjung Peropa
Durasi : 1 menit, 14 detik

Lembar Informasi 2009-01 Manfaat Ekonomi Tanjung Peropa

fs0901-manfaat-ekonomi-sm-tanjung-peropa

Manfaat  Ekonomi  Tanjung Peropa

Keberadaan kawasan konservasi seringkali dianggap menghambat pembangunan  di luar kehutanan, karena  hampir-hampir tak memberikan akses bagi pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang ada di dalamnya.  Lain halnya dengan kawasan hutan produksi yang kayunya dimanfaatkan atau kawasan hutan lindung yang bisa dipinjam pakai untuk kepentingan pertambangan ataupun kepentingan lain di luar kepentingan pembangunan kehutanan sendiri.

Paradigma ini, diperparah dengan adanya otonomi daerah. Kebijakan pemerintah daerah terhadap kawasan konservasi ini sebagian besar belum mengacu pada  pengelolaan SDA berbasis lestari dan berkelanjutan.

Hal serupa, kini dihadapi oleh Suaka Alam Tanjung Peropa yang terletak  di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Kini, tekanan di kawasan itu bukan hanya dari sisi perambahan liar dan praktek illegal loging. Namun, tekanan itu muncul dari kebijakan pemerintah daerah setempat yang ingin membuka akses transportasi darat buat warga Laonti. Jalan itu membelah kawasan SM. Tanjung Peropa. (Untuk lebih Jelasnya, lihat di, http://m3sultra.wordpress.com/)

Berbeda dengan kawasan hutan produksi dan hutan lindung,  kawasan hutan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi  (cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan taman nasional) mengemban fungsi 3 (tiga ) fungsi pokok sebagai wilayah (1) perlindungan system penyangga kehidupan (mengatur tata air, mencegah bencana banjir, erosi dan kekeringan, menyuplai udara bersih dan menyerap CO dan CO2 yang merupakan racun  dari udara dan lainnya), (2) pengawetan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (merupakan bank genetik (plasma nutfah) bagi ketahanan pangan (pertanian dan peternakan), farmasi  dan obat tradisional, bahan dasar kosmetik dan lain-lain) (3) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya melalui pemanfaatan jasa lingkungan air, perdagangan karbon, dan wisata alam.

Lalu manfaat ekonomi apa yang secara langsung bisa dirasakan oleh masyarakat ? pertanyaan ini sering dilontarkan oleh berbagai pihak termasuk oleh pemerintah daerah sendiri. Apalagi bila ternyata di dalam hutan konservasi terdapat sumber daya alam lainnya seperti  potensi tambang  atau potensi kayu komersil yang konon “harus” dimanfaatkan (dieksploitasi) demi percepatan pembangunan ekonomi daerah.

Kawasan hutan konservasi dengan fungsi utamanya memberikan perlindungan system penyangga kehidupan yang salah satunya adalah fungsi hidrooroligi (mengatur tata air) bisa dikatakan sebagai “Bank Air”.  Hutan sering disebut memiliki efek spons, yaitu kemampuan meredam tingginya debit sungai  pada saat musim  hujan dan memelihara kestabilan aliran air pada musim kemarau. Kondisi hutan yang baik akan menjamin ketersediaan air bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.  Kawasan konservasi seperti halnya SM Tanjung Peropa yang kondisinya relative masih utuh, menjamin suplai pasokan air bersih dalam jumlah dan kualitas yang cukup bahkan melimpah dan “gratis” pula bagi masyarakat yang tinggal di desa-desa sekitar kawasan. Terkadang sesuatu yang melimpah dan gratis tidak disadari nilai ekonominya dan dianggap tidak ada harganya.

Contoh hasil penelitian di Jawa Barat tentang kebutuhan air masyarakat untuk keperluan rumah tangga, kebun dan sawah didapatkan bahwa kebutuhan air untuk keperluan rumah tanngga (air minum, memasak, mandi, mencuci dll) adalah sebesar ± 204,6 m3/tahun/rumah tangga. Untuk sawah diperlukan ± 125.000 m3/ha/musim dan untuk kebun sekitar 387,94 m3/tahun. Walaupun belum ada penelitian khusus mengenai kebutuhan air ini di desa-desa sekitar kawasan SM Tj. Peropa, kita bisa menghitung berapa uang yang harus masyarakat bayar untuk mendapatkan air untuk kebutuhannya berdasarkan asumsi perhitungan di atas.

Dengan memakai  harga patokan PDAM Kendari adalah Rp. 28.000/m3,  untuk keperluan air rumah tangga saja  per rumah tangga rata-rata harus membayar sebesar Rp. 5.728.800,-/ tahun  (204,6 m3 x Rp. 28.000). Angka itu baru untuk satu rumah tangga saja. Saat ini di Kecamatan Laonti saja  terdapat ± 9.174 jiwa atau katakanlah sekitar 2.000 KK/ rumah tangga , maka harga yang harus dibayarkan adalah sebesar Rp 1.145.760.000.000 (wow angka yang cukup fantastik). Untuk kebutuhan kebun minimal harus membayar    Rp. 10. 862.320/ha/tahun dan sawah sekitar Rp. 3.500.000.000 (3,5 milyar !) per  hektar setiap musimnya.

Jadi, berapa harga yang harus warga bayar atau pemerintah harus mensubsidi bagi masyarakat ? Tinggal mengalikan berapa total luas  kebun dan sawah yang diusahakan oleh warga yang tinggal di sekitar Tanjung Peropa, bukan hanya di Kecamatan Laonti saja, tapi juga di Kecamatan Moramo dan Kolono. Namun, saat ini warga masih mendapatkannya secara gratis, kalaupun harus membayar, itu adalah biaya untuk pemeliharaan pipa saja.

Itu baru dari sisi  manfaat air saja, masih banyak fungsi ekologis dari SM Tanjung Peropa dan kawasan konservasi lainnya yang jika masyarakat  harus membayar untuk mendapatkannya nilainya tentu tidak terbayarkan, misalnya ketika bencana banjir melanda karena hutan sudah rusak berapa nilai kerugian harta, sawah, kebun dan lainnya yang harus ditanggung masyarakat. Belum lagi jika kita harus membayar untuk mendapatkan udara bersih misalnya.

Jadi pilih mana ? Jika pembukaan jalan yang membelah kawasan konservasi SM Tanjung Peropa dapat menimbulkan dampak-dampak negatif yang mengakibatkan terganggunya fungsi ekologis kawasan. Belum lagi dampak  memikirkan kepentingan pribadi. Sudah saatnya kita  mencari “jalan alternatif” yang lebih menguntungkan dari berbagai aspek baik teknis, ekonomi, dan ekologi.

Untuk informasi lebih lanjut hubungi:
Mila Rabiati, S.Hut
Koordinator Pengendali Ekosiste HUtan (PEH)
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra.